Meskipun hadir sebagai pendatang baru, industri kripto Indonesia berpotensi menyumbang hingga Rp260 triliun terhadap nilai tambah bruto (PDB). Hal itu terungkap melalui kajian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Laporan tersebut menyoroti pentingnya penegakan aturan terhadap platform ilegal. Karena dalam catatannya, hal itu bisa tercapai jika transaksi di entitas ilegal teralihkan ke ekosistem legal dan teregulasi.
Sponsored“Secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan perdagangan aset kripto legal dan ilegal di tahun 2024. Serta tarif pajak berdasarkan PMK No. 50 Tahun 2025, kontribusi perdagangan aset kripto Indonesia diperkirakan mencapai Rp189 triliun hingga Rp260 triliun terhadap nilai tambah bruto. Jumlah itu setara dengan 0,86% hingga 1,18% dari PDB nasional di tahun 2024,” tulis riset.
Nah khusus di tahun lalu, nilai tambah bruto yang dihasilkan dari aktivitas perdagangan aset kripto sudah mencapai Rp70,04 triliun. Mewakili 0,32% PDB nasional.
Sedangkan dalam aspek ketenagakerjaan, perdagangan kripto secara legal dan ilegal, dalam estimasi berkontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja sebanyak 892 – 1.223 ribu orang. Setara dengan 0,62% hingga 0,85% dari total angkatan kerja nasional di tahun lalu.
Masih Terdapat Sejumlah Tantangan
Merespons hal itu, CEO Tokocrypto, Calvin Kizana menuturkan bahwa laporan LPEM FEB UI menjadi bukti empiris bahwa kripto bukan lagi sekadar tren investasi. Melainkan sektor ekonomi digital yang memiliki multiplier effect nyata bagi Indonesia.
Namun, ia menyoroti masih adanya sejumlah tantangan yang untuk bisa mewujudkan kondisi ideal tersebut. Menurutnya, saat ini tantangan utama industri kripto bukan berada pada minat pasar. Melainkan pada keseimbangan regulasi dan kecepatan adaptasi kebijakan.
Selain itu, proses listing token yang memakan waktu hingga 10 hari juga masih menjadi fokus para pelaku usaha. Karena hal itu berpotensi menghambat pertumbuhan industri lokal.
SponsoredDalam kesempatan yang sama, Calvin juga mengungkap tantangan lain seperti ketentuan pajak yang masih lebih tinggi ketimbang platform asing.
“Kami berharap kebijakan pajak aset kripto bisa sesuai agar sepadan dengan instrumen investasi lain seperti saham, yaitu PPh final 0,1%. Dengan kebijakan yang lebih adil, ekosistem kripto dalam negeri akan lebih kompetitif dan bisa menjadi penggerak ekonomi digital yang inklusif,” jelas Calvin.
Hanya 3% Orang Dewasa yang Paham Kripto
Di sisi lain, LPEM FEB UI juga menyoroti rendahnya tingkat literasi keuangan dan digital masyarakat Indonesia. Pasalnya, hanya sekitar 3% orang dewasa yang benar-benar memahami aset kripto. Jumlah tersebut jauh tertinggal ketimbang Malaysia yang mencapai 16%, Arab Saudi 22% dan Brasil yang mencapai 52%.
Hal itu menekankan perlunya edukasi lebih dalam terhadap aset keuangan, terutama aset kripto. Menurut Calvin, rendahnya angka literasi menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bersama bagi seluruh ekosistem industri. Ia berkomitmen untuk terus memperluas edukasi publik melalui berbagai inisiatif literasi digital dan finansial.
“Kami ingin memastikan masyarakat memahami manfaat sekaligus risiko aset kripto dengan bijak, karena masa depan ekonomi digital Indonesia hanya bisa tumbuh di atas fondasi literasi dan kepercayaan,” ujarnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang kontribusi kripto terhadap PDB Indonesia ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!