Trusted

Korporasi di Metaverse: Inovatif atau Hanya Mempertahankan Monopoli?

6 mins
Oleh
Diterjemahkan Savannah Fortis
Gabung Komunitas Trading Kami di Telegram

Ringkasan

  • Apakah ini adalah contoh nyata dari pengawasan ekonomi?
  • promo

Fakta bahwa korporasi besar telah memasuki realitas digital metaverse sudah menjadi rahasia umum saat ini. Akan tetapi, apakah masuknya aktor-aktor raksasa pasar ini menjadi ancaman bagi reinkarnasi dunia virtual?

Ketika metaverse bermanifestasi di dunia nyata, maka banyak individu, brand, dan perusahaan-perusahaan yang bergegas untuk mengamankan posisi mereka. Sebenarnya, itu bukanlah hal yang mengejutkan bagi perusahaan yang berfokus pada bidang teknologi. Sama halnya ketika kita menyaksikan perusahaan teknologi, seperti Meta atau raksasa e-commerce seperti Amazon, yang saat ini berada di garda terdepan dalam kompetisinya.

Meski demikian, ternyata bukan hanya perusahaan dengan latar belakang teknologi yang menyapu habis metaversal land. Spotify, Walmart, Shopify, JP Morgan, dan Gucci bahkan juga turut serta menjadi bagian dari bisnis liga besar terbaru yang juga menunjukkan ketertarikannya pada metaverse.

Namun, apakah masuknya korporasi raksasa komersial, keuangan, dan teknologi ini juga memberikan sinyal bahwa dunia virtual akan menjadi lebih matang dan membuat segalanya bisa terwujud? Ataukah hal itu berarti bahwa replikasi dari suatu entitas yang sama akan berada di puncak kejayaannya, dengan kendali dan pengaruh paling besar atas kehidupan digital kita?

Awal Mula yang Sederhana

Dunia virtual yang terdesentralisasi adalah tempat yang sempurna untuk berekspresi dengan lebih efisien. Selanjutnya, dunia ini juga menjadi tempat yang menawarkan lebih banyak kebebasan dan kreativitas di berbagai bidang, bukan hanya finansial dan teknologi. Misalnya, avatar digital milik seseorang di metaverse bisa saja menjadi hasil imajinasi yang sama sekali tidak terlihat seperti diri mereka sendiri. Tempat tinggal virtual seseorang juga bisa dibuat dengan warna, bentuk, dan ukuran yang bahkan tidak mungkin terwujud di dunia nyata.

Selain itu, interaksi online di metaverse turut berubah menjadi pengalaman yang sepenuhnya imersif. Saat ini, dunia bertemakan musik dari Sandbox juga berhasil membawa streaming langsung konser ke dalam bentuk yang lebih baik. 

Melalui kombinasi realitas berimbuh (augmented reality [AR]) dan realitas virtual (virtual reality [VR]), lingkungan baru yang sudah ada sebelumnya maupun yang masih dalam perencanaan akhirnya mendapat akses yang mudah. Seperti yang kita ketahui, walau perkembangan di metaverse saat ini berjalan super cepat, dalam beberapa tahun terakhir, sebenarnya gagasan tentang metaverse sendiri sudah ada jauh lebih dulu.

Mirip seperti alasan di balik lahirnya internet, pada hakikatnya teknologi Web3 hadir sebagai solusi atas masalah terpusat. Apalagi, internet adalah ruang di mana kebebasan berbicara dan berekspresi mendapat dukungan yang layak. Versi awal internet sebelumnya masih memiliki lebih sedikit sensor, pengumpulan data, dan masalah privasi.

Akan tetapi, ketika “Big Tech” mulai berkembang dan memenuhi ekspektasi, internet beserta interaksi kita di dalamnya pun lambat laun bertransformasi secara total.

Untuk kesekian kalinya, kita pun kembali menyaksikan bagaimana mereka terjun ke sektor baru dan secara kilat mendominasi area terdesentralisasi tersebut. Padahal, tidak hanya melalui raksasa teknologi, perusahaan besar di dunia nyata juga sudah menyadari peluang emas yang ada. Dengan begitu, mereka secara masif memutuskan untuk bergabung. Namun, di sisi lain, korporasi di industri metaverse bisa saja menjadi bentuk lain dari entitas aslinya.

Korporasi Mana Sajakah yang Sudah Terjun ke Metaverse?

Melihat berbagai pembicaraan tentang “korporasi besar” yang memasuki metaverse, siapakah sebenarnya yang sedang kita bicarakan ketika membahas hal ini?

Pastinya, bukan lagi hal yang mengherankan jika empat dari lima perusahaan “Big Tech” telah berinvestasi besar-besaran di metaverse. Beberapa di antaranya termasuk Alphabet (Google), Amazon, Meta (Facebook), dan Microsoft. Namun, pada awal tahun ini, Apple membantah klaim apapun tentang AR/VR metaverse untuk saat ini.

Selain perusahaan yang terkait teknologi, penggerak pasar utama lainnya pun sudah menemukan tempat mereka di metaverse. Berikut dua contoh yang akan kita bahas:

McDonald’s

Pada bulan Februari tahun ini, McDonald’s mengajukan 10 aplikasi merek dagang untuk metaverse. Restoran cepat saji yang ikonik ini berencana mendirikan “restoran virtual yang menawarkan barang nyata dan virtual.” Di samping itu, restoran virtual dengan layanan pengiriman ke rumah juga termasuk di dalam proyek ini. 

Selain penawaran terkait McDonald’s yang lebih tradisional, mereka juga ingin memperluas cakupan ke ‘data media yang dapat diunduh,’ seperti halnya karya seni, data audio, data video, dan non-fungible token (NFT).

Saat ini, McDonald’s adalah kontributor pangsa pasar terbesar di seluruh industri makanan cepat saji. Sedangkan sebagai sebuah perusahaan, mereka sudah terlihat seperti halnya globalisasi. Pasalnya, mereka sudah sukses membangun eksistensinya di 120 negara. Selain itu, omsetnya juga telah mendekati 10,5 miliar USD per tahunnya.

Di saat McDonald’s menyediakan jutaan lowongan pekerjaan di seluruh dunia dan merupakan pilihan makanan cepat saji yang murah untuk keluarga, mereka ternyata tidak selamanya memberikan dampak yang positif. Hal itu tentu saja karena makanannya yang tidak sehat, hilangnya budaya lokal, dan tentu saja dominasi pasarnya yang cukup mengkhawatirkan.

Big corporations are entering digital reality and it’s no secret. Though does the entrance of market behemoths pose a threat to the rebirth of the online world? 

Walmart

Ada satu lagi perusahaan besar dengan rencana besarnya untuk menyongsong realitas digital. Pada bulan Desember 2021, Walmart turut mengajukan paten merek dagang metaverse. Sebenarnya, masih belum terlalu banyak informasi yang mendetail tentang spesifikasi paten merek dagang Walmart. Namun, bisa dipastikan bahwa mereka akan terkait dengan penjualan barang virtual, implementasi mata uang virtual, dan NFT.

Berdasarkan statistik dari Statista, “Walmart adalah suatu perusahaan ritel terbesar di departemen diskon dan warehouse stores di dunia.” Perusahaan ini sudah beroperasi di 26 negara dan menghasilkan pendapatan global sebesar 573 miliar USD.

Ketika perusahaan sebesar dan sekaya ini memasuki sektor Web3, maka apakah kekayaan mereka dapat menyokong lahirnya inovasi dan mendanai kreativitas? Ataukah justru akan melanjutkan upaya monopolinya?

Pendapat Para Ahli tentang Fenomena Korporasi Masuk Metaverse

Pada dasarnya, kekhawatiran terbesar kita ketika perusahaan-perusahaan memasuki metaverse, atau ruang digital apa pun, adalah terkait masalah privasi. Selain itu, dalam dunia yang terdesentralisasi, desentralisasi pun menjadi pertaruhan. Hal ini adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipertahankan oleh komunitas.

Be[In]Crypto berbincang dengan Dr. Anish Mohammed, seorang CTO dari Panther Protocol, solusi end-to-end yang berperan memulihkan privasi di Web3 dan DeFi, tentang topik tersebut. Mohammed telah memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun di bidang keamanan dan kriptografi, dan ikut mendirikan Digital Currency Association Inggris. Selain itu, ia juga meninjau “Orange paper” Ethereum, dan bekerja di dewan penasihat untuk sederet perusahaan terkemuka, termasuk Ripple.

Baginya, privasi adalah masalah serius di sektor Web3 saat ini. Ia juga mengungkapkan bahwa hal yang berpotensi akan terjadi dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar di atas adalah “contoh nyata dari pengawasan ekonomi.”

“Data akan membuka sumber daya dan potensi untuk menghasilkan uang. Dan, perusahaan-perusahaan tersebut secara berkelanjutan telah menunjukkan bahwa mereka lebih mementingkan profit daripada kepentingan individu,” ujarnya.

“Hal ini pun kemudian menghasilkan net negative bagi pengguna langsung, terutama dalam hal privasi dan keamanan data. Lagi pula, pengumpulan data hanyalah tampak luarnya saja. Jadi, sebenarnya apa yang akan terjadi begitu data berhasil terkumpul? Siapa saja yang mendapatkan akses, bagaimana data akan diolah, dan di mana data itu disimpan?” Tanyanya.

Sisi Positif dan Negatif Korporasi Masuk Metaverse

Mohammed memberikan dua skenario yang berpotensi terjadi apabila korporasi mengambil bagian di industri metaverse. Hal ini perlu juga mendapat perhatian konsumen dan partisipan saat terlibat dengan dunia digital, sebagai berikut:

Negatif: Jika metaverse semakin meluas dan publik global telah mengadopsi seluruh kehidupan atau setidaknya sebagian kehidupan dalam realitas virtual. Maka, kemungkinan tidak akan ada lagi privasi yang tersisa.

“Mungkin saja hasil yang paling mengkhawatirkan adalah terkikisnya hak atas privasi. Pada intinya, perusahaan-perusahaan tersebut akan secara finansial memperoleh insentif untuk mengumpulkan dan memonetisasi data, terlepas dari bagaimana hal ini dapat berdampak pada setiap individu,” jelas Mohammed.

Positif: Dengan datangnya brand besar, pengakuan dari masyarakat global juga akan turut muncul. Selanjutnya, hal ini dapat membantu memperkenalkan dunia virtual ini kepada orang awam. Selanjutnya, konsepnya yang menakjubkan juga bisa mengundang rasa ingin tahu publik tentang keseluruhan Web3, mengingat teknologi ini tergolong cukup baru dengan membawa teknologi terdesentralisasi yang sebelumnya tidak dikenal atau dipercaya.

“Bayangkan tentang Amazon Effect dan bagaimana kebangkitan e-commerce benar-benar berhasil mendisrupsi kebiasaan belanja ritel seseorang. Sekarang, mari kita bayangkan bagaimana metaverse nantinya dapat mengubah aspek kehidupan sehari-hari seperti yang sudah kita ketahui bersama,” kata Mohammed.

“Sejumlah besar modal dari perusahaan-perusahaan tersebut dapat mendorong inovasi baru yang menarik dalam skala yang lebih cepat dan lebih besar. Apabila kita memasangkan pendanaan yang besar dengan kesadaran brand yang kuat, maka perusahaan tersebut akan memiliki kemampuan untuk mengakselerasi adopsi metaverse.”

Masa depan ada di sini

Jika bisnis-bisnis besar berbondong-bondong memasuki metaverse, maka sekarang adalah saat yang paling tepat untuk memperhatikan bagaimanakah hal itu tercipta. Ketika kegiatan edukasi bermunculan bagi perusahaan dan harga real estat metaverse turun, maka penting bagi kita untuk memperhatikan siapa saja yang akhirnya memanfaatkan momentum emas itu.

Seperti penjelasan di atas, masuknya pelaku bisnis ke industri metaverse bak pedang bermata dua. Sekali lagi, nasibnya berada di tangan developer dan masyarakat. Semuanya itu demi memastikan bahwa sektor baru ini, yang sedang berkembang pesat hari demi hari, memberikan cukup ruang untuk kebebasan, ekspresi, dan kreativitas yang sejak awal diimpikan.

Punya pendapat yang ingin disampaikan terkait fenomena masuknya korporasi ke metaverse, atau topik lainnya? Sampaikan kepada kami atau bergabunglah dalam diskusi di channel Telegram kami. Anda juga bisa tetap terhubung dengan kami di TikTok, Facebook, atau Twitter.

Platform kripto terbaik di Indonesia | Oktober 2024
Platform kripto terbaik di Indonesia | Oktober 2024
Platform kripto terbaik di Indonesia | Oktober 2024

Penyangkalan

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.

dbf9c5781480898c6113b10f0c3ecc76?s=120&d=wp_user_avatar&r=g
Savannah Fortis
Savannah Fortis is a multimedia journalist covering stories at the intersection culture, international relations, and technology. Through her travels she was introduced to the crypto-community back in 2017 and has been interacting with the space since.
READ FULL BIO
Disponsori
Disponsori