Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap menjaga suku bunga acuannya (BI Rate) di level 6,25%. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 Mei kemarin, disebutkan bahwa salah satu alasan dipertahankannya langkah tersebut adalah untuk menjaga inflasi tetap terkendali. Langkah tersebut diperkirakan akan berdampak ke pasar kripto Indonesia.
Dalam RDG bulan April lalu, BI telah memutuskan untuk mengerek suku bunga acuan naik sebesar 0,25%, dari 6% menjadi 6,25%. Artinya, sikap yang saat ini ditunjukkan memperlihatkan Bank Indonesia belum memiliki niatan untuk menurunkan level suku bunganya.
Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, tindakan BI yang menaikkan suku bunga acuan akan memengaruhi industri kripto tanah air. Sebab rentetannya, setelah suku bunga acuan naik, maka instrumen investasi yang diterbitkan oleh pemerintah seperti Surat Berharga Negara (SBN) juga akan meningkat imbal hasilnya.
Ditambah, suku bunga deposito perbankan untuk 1 bulan pada April juga naik 6 basis poin menjadi 4,59% dari bulan sebelumnya yang sebesar 4,53%. Hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya switching dalam lanskap investasi aset digital.
“Instrumen investasi alternatif seperti aset kripto bisa mengalami perlambatan. Karena preferensi investor akan memilih instrumen investasi yang lebih dijamin, baik dari sisi aset maupun keamanan,” jelasnya kepada BeInCrypto.
Menurut Huda, sentimen suku bunga merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi pergerakan aset alternatif. Sebagai contoh, saat BI masih berkeras untuk menjaga suku bunga acuannya di level 3,5% pada 2021, lonjakan investasi aset kripto di Indonesia makin terasa.
Dorongan untuk Bursa Komoditi Nusantara
Untuk menjaga keberlanjutan industri aset kripto di Indonesia, Huda menyarankan adanya dorongan dari Bursa Komoditi Nusantara (CFX).
Melalui strategi seperti itu, investor yang masuk ke ruang kripto tidak hanya akan mengandalkan keuntungan semata, melainkan juga rasa aman dan kepercayaan pada industri tersebut.
Saat ini, berdasarkan catatan CFX, baru terdapat 4 pedagang aset kripto yang terdaftar di bursa dan telah mengantongi Surat Persetujuan Anggota Bursa (SPAB) dari CFX.
Sementara di Badan pengawas Perdagangan Berjangka (Bappebti), sudah terdapat 35 perusahaan yang menyandang status sebagai Calon Pedagang Aset Kripto (CPFAK).
Oleh karena itu, Bappebti selaku regulator yang bertanggung jawab atas pertumbuhan ekosistem kripto Indonesia juga terus mendorong pelaku usaha untuk menyelesaikan pendaftaran menjadi Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK).
Huda juga menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek pajak untuk mengakselerasi ekosistem digital. Dalam kacamatanya, penerapan pajak kripto terlalu dini untuk dibebankan pada industri.
“Aturan tentang kripto sendiri baru ada sejak 2019, yang artinya penerapan pajak terlalu dini dan berpotensi menurunkan minat investor. Namun, pemerintah mungkin memiliki perhitungan tertentu, karena sejatinya fondasi yang ditetapkan sudah baik, hanya saja efeknya baru akan terasa dalam jangka panjang. Sementara dalam jangka pendek bakal memperlambat,” pungkasnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.