Momentum altseason selama ini kerap dipandang sebagai fenomena langka yang hanya muncul mengikuti siklus empat tahunan Bitcoin (halving). Bahkan, terdapat anggapan klasik yang terus mengalir di kalangan ritel, yakni puncak altseason akan terjadi sekitar 12-18 bulan pasca halving Bitcoin yang sejalan dengan tercapainya ATH baru.
Tidak ada yang salah akan hal itu, karena pola tersebut memang sudah terlihat di beberapa siklus sebelumnya. Tetapi kondisinya sekarang berbeda dan kompleks, sehingga berpeluang menghilangkan relevansi dari hal tersebut.
SponsoredDefinisi Altseason yang Lebih Relevan
Ketimbang terpaku pada narasi historis, terdapat indikator yang digadang lebih mewakili altseason. Yakni, altseason bisa terjadi ketika mayoritas 50 aset kripto teratas secara kapitalisasi mencatat kinerja yang lebih baik ketimbang Bitcoin di periode 30 hari terakhir.
Dengan tolok ukur ini maka altseason bukanlah siklus rigid empat tahunan. Tetapi sebuah fenomena yang justru bisa hadir 1–2 kali setiap tahun ketika pasar berada pada kondisi normal. Intensitas dan durasinya bergantung pada arus likuiditas, volatilitas BTC, serta distribusi kapital dari institusi maupun ritel.
Dinamika Pasar Modern
Nah melihat kondisi pasar sekarang yang bergerak dengan sangat cepat. Terdapat beberapa faktor yang membuat altseason kemungkinan bisa terjadi tidak hanya pasca halving Bitcoin.
Pertama adalah likuiditas internasional. Hadirnya ETF Bitcoin dan Ethereum membuat arus modal lebih fleksibel. Membuat rotasi aset kini lebih cepat ketimbang siklus sebelumnya. Kemudian perihal regulasi dan kondisi makroekonomi yang mencakup keputusan suku bunga The Fed, kebijakan likuiditas Asia, hingga arah dolar AS juga bisa langsung menggeser timing altseason.
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah soal psikologi ritel. Pasalnya saat ini perilaku dari investor ritel masih menjadi katalis dalam terjadinya volatilitas. Euforia yang terlalu cepat biasanya memicu fase distribusi dini sehingga memperpendek durasi altseason.
Dengan variabel ini, mengikat definisi altseason hanya pada kalender halving bitcoin sudah tidak lagi relevan.
Di masa depan nanti mungkin akan ada 1 tahun yang tidak menghadirkan altseason. Seperti saat terjadi peristiwa Black Swan, di mana muncul krisis likuiditas global, regulasi yang membatasi, atau peretasan berskala besar dapat menunda siklus ini.
Sebaliknya setelah bear market penuh terjadi maka pasar biasanya akan bereaksi lebih brutal sehinggga menyulut altseason yang lebih eksplosif dari rata-rata.
SponsoredTerapkan Manajemen Risiko
Oleh karena itu penting bagi trader untuk selalu melakukan DYOR (do your own research). Setiap trader tidak bisa lagi hanya mengandalkan narasi historis, karena analisis performa relatif antar top-50 koin terhadap BTC harus mendapat pemantauan secara kontinu.
Selain itu, momen terbaik untuk akumulasi adalah saat BTC dan altcoin menyentuh level diskon terendahnya. Altseason hampir selalu muncul setelah fase kapitulasi besar. Dengan pola yang terus berulang, investor harus bisa mengetahui dengan baik kapan waktu beli dan jual.
Volatilitas Altseason lebih tinggi ketimbang Bitcoin. Oleh karena itu menerapkan strategi grid averaging yaitu pembagian modal untuk pembelian secara bertahap pada setiap level penurunan sangat penting. Jangan juga lupa untuk selalu menerapkan manajemen resiko yang ketat. Mulai dari cut loss, diversifikasi aset, DCA dan lainnya.
Sebagai catatan, altseason sejatinya bukanlah siklus empat tahunan. Melainkan fenomena tahunan yang sangat bergantung pada dinamika likuiditas dan rotasi kapital. Normalnya setahun dapat menghadirkan 1–2 kali altseason, meski tidak menutup kemungkinan di masa depan nanti akan ada satu tahun penuh tanpa altseason jika pasar tertekan bear market yang berkepanjangan.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!