Tim BeInCrypto pada hari Rabu (7/9) berkesempatan duduk bersama I Gede Putu Rahman Desyanta selaku co-founder & CEO Baliola yang merupakan marketplace NFT pertama yang lahir dari Pulau Dewata.
Sosok yang akrab disapa Anta ini menceritakan banyak hal mengenai upaya besarnya bersama timnya dalam meliterasi masyarakat Bali dari berbagai kalangan, baik itu seniman, generasi muda, hingga pemerintah daerah, mengenai teknologi web3, blockchain, kripto, hingga NFT.
Dari semangatnya ini, kami mencoba menggali lebih dalam dan menangkap esensi dari marketplace NFT Baliola hingga proyek kripto Kepeng dan inisiatif Bali Blockchain Center.
Ingin Berikan Sesuatu bagi Bali
Anta memiliki background sebagai bisnis developer dengan pendidikan sarjana di bidang IT (informasi & teknologi) dan magister (S2) di bidang bisnis. Dia mengaku mulai melakukan riset tentang blockchain sejak 2018. Menariknya, bahkan tesis studinya sendiri adalah tentang blockchain.
Namun, dimensi identitas Anta tidak hanya terbatas pada IT dan bisnis. Dia juga seorang seniman yang menggeluti bidang tari tradisional Bali. Kepedulian Anta terhadap seni lukis datang dari orang-orang terdekatnya.
“Adikku itu suka banget lukis. Terus, almarhum paman saya sering lukis di waktu senggangnya. Teman-teman saya juga banyak pelukis,” jelas Anta.
Melihat hal ini, Anta berpandangan bahwa seni lukis harus dilindungi dengan hak kekayaan intelektual (HAKI). Pasalnya, para seniman pastinya akan jadi pihak yang terdampak lebih dulu, bila urusan dan praktik seperti ini di Indonesia belum bagus. Kondisi inilah yang membuat Anta tergerak untuk mendukung para seniman di Bali.
Anta hijrah ke Jakarta sejak tahun 2005 untuk menimba ilmu di Universitas Bina Nusantara (Binus). Setelah lulus, dia melanjutkan kerja di Ibu Kota, sampai sekitar 15 tahun menetap di sana. Memasuki tahun 2019, dia memutuskan untuk kembali ke Denpasar.
“Misi saya kembali ke Bali itu selain membantu melanjutkan bisnis keluarga, saya cuma berpikir, ‘Saya perlu memberi sesuatu kepada Bali.’ Hadirnya Kepeng dan Baliola ini sebenarnya yang kita inginkan, memberikan sebuah heritage, peninggalan untuk mereka nanti di Bali, bahwa kita bisa menyiapkan diri, kita orang Bali itu bisa karena kita punya kekuatan yang besar di kreativitas,” jelas Anta dengan semangat.
Proyek Kripto Kepeng Berlandaskan Filosofi Masyarakat Bali
Anta kemudian menceritakan bahwa sebelum mendirikan Baliola sebagai marketplace NFT, dia dan koleganya memulai dengan Kepeng yang merupakan proyek cryptocurrency. Baru dari sana, ekosistemnya berkembang hingga lahirlah Baliola.
Dia menjelaskan bahwa proyek kripto Kepeng memiliki akar filosofi dari masyarakat Bali. Nama Kepeng diambil dari mata uang tradisional Bali. Kepeng sendiri sebenarnya adalah alat transaksi masyarakat Bali dari zaman sebelum Majapahit sampai sekarang. Alat tukar ini berbentuk lingkaran, seperti koin, tetapi ada lubang persegi di tengahnya.
“Kepeng sebenarnya itu digunakan sebagai komoditi, sebagai pengganti alat tukar. Jadi, misalnya, satu beras karung itu bernilai sekian kepeng. Seiring perjalanan waktu sampai sekarang, di Bali itu ada 2 pemerintahan. Pemerintahan terpusat yaitu dinas pemerintahan, dan pemerintahan tidak terpusat, yaitu desa adat. Desa adat ini, secara undang-undang itu masih menggunakan Kepeng. Jadi, kalau misalkan terkena denda, penjelasannya adalah ‘jika Anda melanggar hal ini, maka Anda wajib untuk membayar denda sejumlah sekian kepeng atau sekian rupiah,’” kata Anta saat menjelaskan penggunaan kepeng oleh masyarakat Bali.
Dari sini, Anta dan timnya punya pandangan bahwa bila berbicara tentang Kepeng, itu selalu orientasinya mengenai culture, prosperity, dan happiness. Dari semangat itu, dia berkata, “Udahlah, kepeng yang kita punya kita pindahkan ke kripto saja, dan jadikan sebagai perlindungan culture kita, kekayaan kita, dan kebahagian kita. Makanya, token Kepeng kita cetak, kita buat logonya mirip dengan kepeng konvensional, tujuannya kita mau serahkan kembali ke masyarakat.”
Menurut penjelasan Anta, token Kepeng sendiri memiliki 3 era yaitu, Mula Era (NFT for everything), Aga Era (local economic use of DeFi), dan Buana Era (Kepeng goes to DAO).
Marketplace NFT Baliola Ingin Memberi Impact bagi Pelukis
Salah satu alasan Anta dan koleganya tertarik dengan NFT adalah karena adanya sistem royalti pada transaksinya, sehingga bisa membantu para seniman. Menurutnya, secondary market NFT punya efek yang bagus.
“Saya punya teman, dia cucu salah satu pelukis terkenal di Yogyakarta. Karya kakeknya sampai Belanda, sampai mana-mana, dan harganya ratusan juta, tapi dia tidak dapat apa-apa. Kan, kasian banget. Kalau begini pasar seni kita, tidak ada yang mau jadi pelukis. Buat apa? Sedangkan pelukis itu benar-benar ‘kerasukan’, bisa berjam-jam untuk melukis. Level meditasinya tingkat dewa. Itulah mengapa mereka tidak gampang membuat sebuah karya. Namun, kenapa dari karyanya mereka, seniman yang telah meninggal, anak cucunya tidak bisa mendapatkan royalti dari sana? Ini yang sering terjadi di Indonesia, berbeda dengan di luar negeri,” jelas Anta sambil mengatakan bahwa Baliola lebih fokus agar dapat memberikan impact.
Bali Online Aset, atau yang kerap disebut Baliola, dimulai pada waktu pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, Bali menjadi salah satu daerah yang paling terkena dampak. Pasalnya, kekhawatiran penularan virus membatasi pergerakan masyarakat akhirnya berujung pada merosotnya jumlah wisatawan yang berlibur ke Bali. Semua seluk beluk industri pariwisata di Bali terpukul, termasuk juga seniman yang menghasilkan karya dari melukis.
“Seniman juga kena. Jadi, seniman itu bingung di mana mereka harus nyari uang segala macamnya. Mereka dulu kalau mau jualan, tinggal buka pintu rumah, bisa jualan. Gampang gitu kan. [Saat Covid-19], pelukis juga kesusahan,” kata sang CEO Baliola.
Mengetahui adanya hambatan ini, para pelukis pun mencoba berjualan dengan medium online. Namun, masalah tidak selesai begitu saja. Ternyata, berjualan seni lewat kanal online juga rentan dibajak. Bahkan, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sampai mentokenisasikan karya tersebut menjadi NFT.
“Malah ada beberapa seniman yang karyanya diambil dari Instagram, lalu di-NFT-kan. Jadi, seniman kita itu bingung, ‘Di mana saya harus menaruh karya saya, tapi aman buat saya?’”
Realita yang miris tidak berhenti sampai di sana. Menurut pengakuan Anta, di marketplace NFT, seperti OpenSea, ada sebuah karya dari seorang seniman yang dijual oleh 6 akun berbeda.
“Padahal yang asli cuma satu doang, tapi kok yang lain ikut-ikutan ya,” kata Anta dengan nada jengkel.
Dia menilai, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini mencari ketidaktelitian user sehingga muncul probabilitas mereka memilih NFT yang “tidak benar”.
Berkaca dari realita ini, Anta dan timnya berpikir perlu membuat suatu marketplace NFT, tetapi tidak seperti yang sudah ada. Karena baginya, “Itu bukan open market. Jadi, kita fokus sama karya-karya yang memang bisa dipertanggungjawabkan.”
Membangun Marketplace NFT dengan Mekanisme Validasi & Verifikasi
Mereka akhirnya membangun marketplace NFT dengan mekanisme validasi dan verifikasi. Dengan model ini, sebuah karya seni harus divalidasi dulu. Apakah seniman pembuat karya itu benar dia seniman? Apakah dia yang memang memiliki karya tersebut? Setelah itu, baru karya seni tersebut diverifikasi. Mereka menyebut mekanisme ini sebagai deklarasi karya.
“Jadi deklarasi karyanya itu seperti ini. Saat orang memverifikasi karya di Baliola, mereka kalau bisa harus ada historisnya dari kanvas kosong sampai jadi. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa memang dia yang membuat karya seni tersebut,” jelas Anta.
Setelah deklarasi karya, seniman harus bisa menguraikan mengenai teknis dari karya seni lukis tersebut. Terakhir, mampu menunjukkan disclaimer bahwa memang seniman tersebutlah yang membuat dan memiliki karya itu.
“Dengan mekanisme ini, jadi di sini NFT berupa kontainer, tidak hanya karyanya, tapi juga ada file yang menempel dengan NFT itu. Dengan adanya bukti, sudah bisa kita gunakan kalau misalnya nanti ada kasus pembajakan, dokumen itu bisa dipakai sebagai bukti kepemilikan dari karya seni tersebut.”
Anta mengaku beberapa seniman sudah mulai membuka diri dengan mekanisme marketplace NFT semacam ini. Namun, dia tidak menampik bahwa pihaknya kesusahan untuk mengajak para seniman mengadopsi teknologi NFT karena ketidaktahuan, masih belum ingin, hingga munculnya anggapan miring tentang NFT.
Mengutilisasi NFT sebagai Litografi
Koleksi NFT yang ada di Baliola tidak hanya terbatas pada seni lukis konvensional di kanvas, tetapi ada yang ilustrasi digital juga.
“Kita di Baliola menyematkan NFT itu tidak harus digital. Ada yang digital aja, ada pula NFT yang sebagai sertifikat dari sebuah karya seni lukis. Selain itu, ada juga karya seni lukis yang secara fisik di-bundling dengan NFT,” ungkapnya sambil menambahkan bahwa banyak lukisan dari para seniman yang menitipkan lukisan mereka di kantor Baliola.
Bahkan, ada seniman yang sengaja tidak menjual seni lukisnya secara fisik, tapi dibuat versi NFT-nya saja. Tujuannya adalah untuk litografi. Litografi ibaratnya replika asli dari sebuah karya seni.
“Kalau orang melukis, seperti misalnya Antonio Blanco, itu dia melukis tidak pernah dijual karya seninya. Dia taruh di museumnya, tetapi litografi karya-karyanya dijual. Itu ada cap asli dari keluarganya. Ini seperti salinan resmi karena ada kolektor yang ingin memiliki, harganya pasti lebih murah daripada aslinya. Misalnya harga aslinya itu Rp1 miliar, harga litografi dari lukisan itu mungkin bisa cuma sekitar Rp1 juta sampai Rp7 juta. Ini tidak sebagai bukti memiliki karya itu, tetapi sebagai tanda bahwa kolektor punya koleksi dari lukisan tersebut,” papar sang CEO Baliola.
Bila mekanisme litografi ini semula terdapat ‘cap basah’, maka sekarang cukup dengan NFT, litografi juga sudah bisa dilakukan dan prosesnya dapat lebih mudah. Ide seperti ini juga diusulkan oleh Baliola kepada para seniman.
Anta menceritakan, “Ada seniman kita, sekarang mereka mau bikin NFT, tapi mereka tidak mau jual karyanya karena mereka mau jual NFT-nya saja. Karyanya, ditaruh di tempat mereka. ‘Jadi orang-orang yang boleh melihat karya saya ini adalah orang yang punya NFT-nya.’ Kan jadi akses lebih. Nah ini yang kita sedang galakkan ke teman-teman seniman. Maksudnya, ya sudah tidak perlu dijual karya seni aslinya. Karena itu dibuat dengan penuh hati dan segala macam, ya sudah dibuatkan saja versi litografinya dalam bentuk NFT. Jadi, harga litografi versi NFT bisa terjangkau kolektor dan harga lukisan aslinya tetap bisa terus berkembang.”
Baliola tidak menutup pintu dengan model NFT yang bersifat generatif. Dia bercerita, “Ada beberapa yang seperti itu [NFT generatif]. Namun, ya balik lagi. Setelah mereka [kreator NFT generatif] melihat karya seniman lain yang sangat serius dalam proses pembuatannya, mereka juga jadinya berpikir lagi, ‘minder’ sendiri karena melihat banyak yang kreatif.”
Dia menjelaskan bahwa NFT yang saat ini ada di marketplace Baliola mayoritas tidak generatif dan mengedepankan kualitas. Anta menjelaskan bahwa Baliola menggunakan protokol token 751 yang dikenal untuk NFT dan token 1155 yang memungkinkan mencetak fungible token dan NFT dalam satu smart contract.
Kendala Adopsi yang Dihadapi Baliola
Anta juga menjabarkan sejumlah kendala dalam mendorong adopsi NFT lebih lanjut. Pertama adalah mendekati seniman dan menjelaskan ke mereka apa itu NFT dan bagaimana proses pembuatannya. “Orang-orang tidak bisa membayangkan. Setelah dilihatkan, baru bisa mengerti,” jelas sang CEO Baliola.
Dia melanjutkan, “Seniman itu unik. Mereka memang perlu uang, perlu untuk membiayai hidup, tetapi mereka punya filosofi dan nilai yang harus juga kita ketahui. Kita tidak bisa tiba-tiba bilang, ‘Kamu bakal dapat cuan banyak dari NFT.’ Kalau bilang begitu, yang ada kita diusir. Kita benar-benar diusir oleh beberapa seniman, tidak mau ngobrol dengan kita. Namun, saat kami membahas soal copyright karya seni mereka, mereka ingin dilindungi. Dari sini, dengan NFT, mereka punya senjata untuk melindungi diri. Bagi kami, yang penting mau mendengarkan dulu.”
Anta mengakui bahwa proyek NFT selfie Ghozali Everyday yang sempat heboh di kalangan masyarakat luas, turut membuat para seniman yang dulunya tidak mau mendengarkan tentang NFT, akhirnya sekarang mereka mau mendengarkan. “‘Gila, itu selfie doang, gua ini karya seni loh.’ Jadi, mereka mulai datang ke kita untuk mencari tahu apa itu NFT,” papar Anta.
Kemudian, kendala kedua yang ditemukan Baliola adalah mengedukasi para kolektor seni konvensional. “Sampai saat ini, kita masih belum dapat rumusan yang tepat untuk kolektor seni konvensional masuk ke NFT itu gimana caranya. Padahal, yang biasanya ‘uangnya gede’ juga ada di konvensional,” jelasnya.
Kendala yang terakhir adalah pemerintah. Anta mengakui bahwa pemerintah memang sangat mendukung adopsi teknologi terbaru. Namun, mereka masih perlu diberikan edukasi lagi mengenai apa itu web3, blockchain, serta perbedaannya antara cryptocurrency dan NFT seperti apa. Oleh sebab itu, Anta dan timnya membuat program literasi blockchain sampai NFT.
Itulah 3 kendala yang dilihat oleh Baliola. Meski ada tantangan dalam adopsi teknologi terbaru, Anta yakin bahwa di setiap hambatan selalu ada peluang.
Sudah Ada Lebih dari 160 Artist Tervalidasi
Saat ini, sudah ada lebih dari 160 artist yang tervalidasi dengan terdapat lebih dari 287 artwork di marketplace NFT Baliola. Anta menjelaskan ada beberapa proyek NFT di Baliola yang membuatnya terkesan.
Salah satu yang paling menakjubkan adalah NFT Warna Warni. Ini adalah sebuah buku yang ditokenisasi menjadi NFT. Buku yang sudah ditokenisasi itu dijual seharga Rp500.000 per NFT. Totalnya ada 100 NFT yang dijual dalam lelang ini dan ludes terjual hanya dalam waktu 5 hari. Menariknya, yang membeli kebanyakan bukan dari crypto native, melainkan orang-orang yang ingin tahu tentang NFT. Adapun dana yang terkumpul mencapai Rp50 juta dan kemudian disumbangkan ke rumah berdaya skizofrenia.
“Jujur saja, saat saya menyerahkan dana ini, pihak penerima dana menangis. Saya pun ikut terharu, karena bagi mereka ini sangat besar sekali. Hal ini membuat kita berpikir untuk melanjutkannya lagi, NFT for charity. Kita sedang merumuskan NFT for charity berikutnya lagi, karena ternyata NFT bisa untuk seperti ini juga,” ungkap Anta.
Kemudian, Anta dan timnya punya ide untuk membuat event bersama komunitas Harley Davidson (lebih tepatnya ‘menunggangi’ event ini). Dia mengajak para seniman yang awalnya belum begitu tertarik mengenal NFT.
Dia memberi tahu, “Di sini, kami memiliki ide agar para seniman membuat karya seni yang merespon logo Harley Davidson. Hari itu, hasil karya tersebut kita lelang. Bila semula karya semacam ini dibeli dengan karyanya ratusan ribu rupiah, tetapi kali ini bernilai Rp1 jutaan. Para seniman kaget, dan di sinilah mereka mulai terbuka dengan NFT. Ternyata, hal semacam ini juga bisa memberi impact bagi mereka.”
Anta juga menjelaskan bahwa Baliola juga punya program NFT coklat yang turut membantu para petani coklat. Para holder NFT coklat otomatis turut menanam pohon coklat. Menariknya, 30% dari hasil pohon coklat itu akan diterima oleh para holder NFT itu juga. Saat ini, proyek tersebut sudah dalam tahap wait listing. Menurut rencana, NFT coklat akan public sale pada pertengahan atau akhir bulan September ini.
NFT Perlu Punya Value untuk Jaga Kredibilitas
Terkait NFT generatif dan NFT yang sifatnya dibuat masih menggunakan metode seni lukis konvensional, Anta mengatakan bahwa seni itu dimensinya besar. Jadi tidak bisa dibilang ‘ini bagus dan ini jelek’.
“Semua punya segmennya sendiri. Bagi kami, Baliola berusaha untuk melihat sebuah NFT bukanlah sebagai gambar saja, tetapi juga harus memiliki value, memiliki nilai ekonomi yang nanti bisa menjaga kredibilitas dari NFT itu sendiri.”
Baliola memiliki konsep NFT of Everything (NoE). Konsep ini mencoba melihat perspektif NFT tidak hanya tentang gambar. “Art sendiri memang punya value, punya market-nya. Kita tidak bisa bilang bagus dan jelek. Dalam artian semua punya alasan, karena tidak cuma gambar, ada story telling di belakangnya, ada macam-macam filosofi dan segala halnya,” jelas Anta.
Selain itu, Anta menambahkan “Hal yang kita lihat lagi adalah ada juga sisi bahwa NFT itu bisa digunakan untuk berbagai hal, seperti hak akses semacam tiket, hingga sebagai fraction ownership. Makanya di Baliola sendiri, kita sekarang sedang getol-getolnya membicarakan NFT for utility. Sampai kita membuat sendiri crypto wallet namanya Betamax yang fokus untuk utilize NFT.”
Dia menegaskan bahwa pada intinya NFT itu harus memiliki sebuah nilai dan underlying.
“Kalau hanya untuk spekulasi saja, NFT itu menjerumuskan sebenarnya. Namun, bila NFT tersebut memiliki nilai seni atau nilai utilitas, maka adaptasinya benar. Jadi, kita juga bisa menjaga harga NFT tersebut tidak sampai jungkir balik.”
Mendukung Open Metaverse & Mengandalkan Blockchain Avalanche
Baliola punya web3 strategy bahwa di web3 nanti, NFT adalah protokol yang terbaik di metaverse.
“Kita mulai dari sini. When you start going to web3, start with NFT. Jadi bikin NFT dulu. Nanti kalau sudah eranya metaverse secara massal, orang-orang tinggal connect aset mereka ke metaverse. Kami intinya meng-enabling people go to web3 via NFT. Apa pun metaverse-nya, kamu bisa connect dengan NFT yang dibuat di Baliola.”
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa konsep yang didukung Baliola mirip dengan narasi open metaverse, seperti yang digaungkan oleh Animoca Brands.
Balilola saat ini menggunakan blockchain Avalanche. Namun, mereka sebenarnya sempat menggunakan blockchain lokal. Anta mengaku bahwa permasalahan yang pihaknya hadapi saat mengandalkan blockchain lokal adalah tidak bisa scale up dengan cepat.
“Jadi, kami mencari developer-nya susah, terus mencari API-nya juga lama banget. Kami nggak bisa terus-terusan begini. Akhirnya, kita awal tahun ini mulai transisi blockchain ke Avalanche,” ungkap CEO Baliola.
Baliola memilih Avalanche karena menilainya sebagai jaringan yang decentralized. Setiap titiknya bisa dibangun sub-net dan Baliola bisa menjadi sub-net.
“Terus, kita bisa bangun blockchain sendiri di atas itu sebagai sub-net entity. Ini yang sebenarnya membuat kita tertarik, karena kami di blockchain, Baliola itu sebagai blockchain company. Kami menjadi konsultan blockchain ke beberapa instansi dan implementasi blockchain ke beberapa instansi. Jadi, kita juga punya Ambisi untuk membangun blockchain sendiri. Dengan Avalanche, kayaknya punya peluang nih. Dari segi spesifikasinya, Avalanche cukup cepat, gas fee juga tidak terlalu mahal, lambat juga tidak. Dari development-nya juga cepat. Kita lebih fokusnya ke development, kita ingin percepat scale up-nya seperti apa, Jadi semacam layer-2 (L2),” urainya.
Anta menginformasikan bahwa Baliola bukan sekedar NFT marketplace, tetapi juga sebagai NFT engine. Siapa pun yang ingin membuat NFT atau aset digital, mereka tidak perlu mempekerjakan developer. Berbekal engine Baliola saja, mereka sudah bisa melakukannya.
Terkait proyek ini, sang CEO Baliola itu menjelaskan bahwa mereka akan melakukan beta testing pada bulan Oktober mendatang.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram Be[In]Crypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.