Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sophia Isabella Wattimena menyebut saat ini beberapa negara tengah mengalami penurunan digital trust. Hal itu terjadi lantaran meningkatnya risiko siber, pengembangan teknologi artificial intelligence (AI) dan juga dinamika aset kripto.
Dalam sambutannya pada acara Risk & Governance Summit 2024 Sophia menjelaskan, pergerakan pasar aset kripto dalam beberapa hari terakhir menunjukkan kenaikan harga yang luar biasa.
Kondisi yang dipengaruhi oleh sentimen pasar global itu sekaligus juga menunjukkan volatilitas harga yang sangat tinggi. Oleh karena itu, lanjut Sophia, OJK selaku pemegang mandat dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) untuk mengawasi sektor aset digital dan aset kripto, terus memperkuat infrastruktur digital yang tangguh dan juga aman melalui peluncuran beberapa aturan dan juga kode etik.
“Tantangan di era digital, tidak hanya datang dari risiko siber dan juga pengembangan AI. Tetapi juga dari dinamika pasar aset kripto,” jelasnya.
Mengutip data Edelman Trust Barometer, Ia menuturkan bahwa sebanyak 14 dari 22 negara mengalami penurunan digital trust. Dari jumlah itu, 6 diantaranya bahkan mengalami penurunan 2 digit. Termasuk Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang, Inggris, Prancis dan juga Australia.
Hal itu menunjukkan pentingnya kejelasan aturan dalam menavigasi lanskap digital yang terus berkembang. Karena menurutnya, transformasi digital yang membuka inovasi juga membuka ancaman keamanan baru dalam keamanan siber.
OJK Jalin Sinergisitas Antar Lembaga
Demi membangun ekosistem kripto yang positif, OJK sudah menjalin sinergisitas dengan beberapa lembaga pemerintah, termasuk Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi mengakui bahwa tantangan dalam pengawasan kripto sangat berat.
Bahkan, salah satu instrumen keuangan digital itu disebut rentan dengan aktivitas pencucian uang. Menurutnya, celah yang terdapat di ruang kripto berisiko dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Lantaran karakteristiknya yang tidak bisa diatur oleh regulator.
Hal itu berbanding terbalik dengan sektor keuangan konvensional. Seperti perbankan dan juga pasar modal yang memang sudah memiliki aturan cukup ketat.
PPATK sendiri mengeklaim telah memiliki tools khusus yang mampu melakukan tracing aset kripto dari wallet hingga exchanger.
Terlepas dari hal itu, Sophia juga menyoroti tentang pentingnya keamanan data pribadi. Lantaran menurut data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sampai dengan September tahun ini, terdapat 7 juta data yang terekspos di dark web. Jumlah itu berasal dari 450 instansi dan 3% diantaranya berasal dari sektor keuangan.
Bagaimana pendapat Anda tentang dinamika aset kripto terhadap perkembangan ekonomi digital? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.