Lihat lebih banyak

Mulai Khawatir, PBB Sebut AI Bisa Dorong Adanya Informasi Palsu

3 mins
Diperbarui oleh Lynn Wang
Gabung Komunitas Trading Kami di Telegram

Ringkasan

  • PBB mulai merasa khawatir terhadap perkembangan teknologi artificial intelligence (AI), khususnya generative AI dan teknologi deepfake.
  • Dalam laporan terbarunya, PBB menyebutkan bahwa teknologi tersebut mampu merusak integritas informasi, terutama bagi media digital yang memanfaatkan AI.
  • Sejauh ini, sejumlah wilayah; seperti Uni Eropa, Jepang, dan Cina, sudah mulai mengetatkan pemanfaatan AI di yurisdiksinya.
  • promo

Organisisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai merasa khawatir terhadap perkembangan teknologi artificial intelligence (AI). Secara khusus, mereka mengkhawatirkan fitur generative AI dan deepfake.

Kehadiran AI pada dasarnya memiliki manfaat luas dan potensinya konon tidak terbatas. Respon masyarakat terhadap teknologi anyar tersebut juga terlihat positif. Salah satu contoh yang paling signifikan adalah pencapaian ChatGPT, platform chatbot bertenaga AI, yang berhasil mencapai jumlah pengguna 100 juta sampai dengan Januari kemarin. Fakta tersebut membuktikan bahwa kehadiran teknologi canggih memang dibutuhkan dan diterima oleh masyarakat.

Tetapi, ibarat pisau bermata dua, rupanya terdapat hal serius yang ada dibalik kehadiran AI. Selain generative AI, PBB menyebutkan teknologi deepfake yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.

Dalam laporan terbarunya, PBB menyebutkan bahwa teknologi tersebut mampu merusak integritas informasi, terutama bagi media digital yang memanfaatkan AI.

“Namun, risiko hadirnya informasi yang menyesatkan menjadi semakin besar seiring munculnya teknologi generative AI,” jelas PBB.

Ternyata teknologi AI juga bisa dimanfaatkan untuk membantu agar trading kripto semakin maksimal. Simak tips praktisnya dalam ulasan 6 Contekan Instruksi ke ChatGPT untuk Bantu Cari Uang lewat Investasi Kripto.

Foto Palsu Hasil Deepfake Sempat Rontokkan Harga Saham

Penyalahgunaan kemampuan deepfake memang sudah mengkhawatirkan. Awal Mei lalu, teknologi tersebut disalahgunakan untuk menunjukkan foto palsu yang berisi ledakan di dekat Pentagon, Amerika Serikat (AS).

Hal tersebut langsung berpengaruh terhadap pasar saham yang rontok selama beberapa saat. Di samping itu, dalam hitungan menit, sejumlah akun media sosial, termasuk mereka yang tergolong sebagai akun terverifikasi, ikut membagikan gambar palsu tersebut. Alhasil, kondisinya pun semakin kacau.

Menyadari hal itu, pejabat di AS mulai bersuara dan mengatakan bahwa insiden tersebut tidak ada dan tidak terjadi.

Oleh karena itulah, guna mengendalikan penggunaan AI, PBB mengimbau agar platform digital melakukan investasi pada sumber daya manusia, termasuk sistem moderasi konten. Selain itu, investasi dalam sistem AI yang bisa digunakan dalam berbagai bahasa juga perlu untuk ditingkatkan.

“Mulai dari rating pelaporan konten, transparansi, dan kecepatan respon, khususnya saat kondisi konflik sedang terjadi,” tambah PBB.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, juga menyuarakan hal yang sama. Menurutnya, generative AI perlu terus diwaspadai, karena mampu mengaburkan kerusakan yang dilakukan oleh teknologi digital. Kemudian, Guteress menambahkan bahwa generative AI memungkinkan pula adanya penyebaran ujian kebencian secara masif.

Di sisi lain, jika tidak dikendalikan dengan baik, AI juga disebut mampu memicu konflik serta kehancuran, mengancam demokrasi dan hak asasi manusia, serta merusak kesehatan masyarakat.

Beberapa Negara Mulai Perketat Penggunaan AI

Sebagai tindakan preventif, sebenarnya banyak negara yang sudah meluncurkan inisiatif untuk mengatur platform digital. Aturan tersebut mencakup mulai dari aturan ujaran kebencian, hingga aturan yang berhubungan dengan akurasi dan kebenaran informasi yang disampaikan.

Pandangan terhadap pengetatan aturan di industri AI juga sudah digaungkan oleh beberapa negara. Seperti Uni Eropa, misalnya. Wilayah tersebut sudah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk mengatur penggunaan teknologi AI.

Pengungkapan atas materi hak cipta yang digunakan oleh berbagai alat berbasis artificial intelligence, hingga klasifikasi alat AI berdasarkan level risikonya, akan diatur dalam kerangka aturan AI dari Uni Eropa.

Langkah tersebut mendapatkan apresiasi dari beberapa pihak. Salah satunya adalah Analis Macquarie, Fred Havemeyer. Dia meyakini bahwa kerangka aturan AI dari Uni Eropa merupakan langkah yang lebih baik ketimbang mengedepankan pembatasan tanpa mempertanyakan pendekatannya.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Informasi Pribadi Jepang, bersikap lebih waspada terhadap pengembangan AI. Lembaga pengawas privasi tersebut telah mengeluarkan peringatan terhadap OpenAI, selaku pengembang ChatGPT, terkait pengumpulan data sensitif untuk machine learning.

Senada dengan Jepang, Cina juga memperketat aturan terkait penggunaan teknologi deepfake. Apalagi, belum lama ini muncul modus penipuan di sana yang menggunakan teknologi tersebut untuk membuat perintah transfer palsu menggunakan video call.

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!

Platform kripto terbaik di Indonesia | April 2024

Trusted

Penyangkalan

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.

BIC_userpic_sb-49-profil.jpg
Adalah seorang penulis dan editor yang pernah berkiprah di banyak media ekonomi dan bisnis. Memiliki pengalaman 7 tahun di bidang konten keuangan, bursa dan startup. Percaya bahwa blockchain dan Web3 akan menjadi peta jalan baru bagi semua sektor kehidupan
READ FULL BIO
Disponsori
Disponsori