Belum lama ini, Chainalysis, firma analitik blockchain merilis hasil pemeringkatan adopsi kripto di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Menariknya, data tersebut menunjukkan bahwa negeri ini turun peringkat menjadi posisi 7 dari sebelumnya di ranking 3. Kondisi itu memantik tanya banyak pihak tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Melihat hal itu, Chief Executive Officer (CEO) Tokocrypto, Calvin Kizana melalui keterangan resminya menuturkan, pada tahun ini Chainalysis menambahkan sub-indeks baru yang mengukur aktivitas institusional. Khususnya untuk transaksi bernilai di atas US$1 juta.
Nah negara-negara dengan ekosistem finansial matang seperti Amerika Serikat (AS), India dan Brasil mendapatkan dorongan kuat dari partisipasi insitutusi besar. Termasuk dari hadirnya produk ETF Bitcoin spot.
Sebaliknya, Indonesia yang memiliki kekuatan lebih di segmen ritel juga decentralized finance (DeFi), justru bobotnya kini mengalami pemangkasan dari metodologi. Membuat kontribusi negeri ini terlihat lebih kecil meski aktivitas di kedua ruang tersebut masih masif. Â
Sponsored“Indonesia masih memiliki fondasi yang sangat kuat di adopsi ritel. Tingginya populasi, penetrasi digital yang baik serta minat generasi muda pada aset digital menjadikan negeri ini salah satu pasar paling potensial di dunia,” jelas Calvin.
Indonesia Harus Bergerak Cepat
Lebih jauh lanjutnya, hasil peringkat ini adalah pengingat bahwa Indonesia harus bergerak lebih cepat dalam memperkuat sisi institusional. Sehingga bisa melengkapi kekuatan ritel yang sudah mapan. Ia menyoroti partisipasi institusional di pasar spot domestik perlu meningkat, agar volume transaksi skala besar bisa lebih tercatat.
“Kita juga harus mendorong hadirnya ETF kripto lokal, supaya investor institusi memiliki jalur investasi yang aman, transparan juga legal,” tambah Calvin.
Untuk itu, perlu adanya sinergisitas antara regulator, industri dan masyarakat. Dirinya optimistis, jika regulasi yang muncul lebih pro kepada pertumbuhan, kehadiran ETF lokal dan produk institusional akan mengakselerasi transformasi.
“Di saat yang sama, literasi masyarakat tentang stablecoin untuk remitansi, pembayaran lintas negara, hingga pemanfaatan Web3 akan membuka peluang baru. Itulah kunci agar Indonesia bisa kembali kelima besar dunia, bahkan lebih tinggi,” tuturnya.
Calvin menekankan bahwa literasi keuangan digital harus meningkat agar masyarakat tidak hanya melihat kripto sebagai sarana trading semata. Melainkan juga sebagai alat inovasi dan pengembangan ekonomi digital masa depan.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!