Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah merampungkan kebijakan perpajakan baru untuk dua instrumen digital dan investasi. Yakni aset kripto juga logam mulia (bullion). Langkah strategis tersebut merupakan bagian dari inisiatif besar untuk memperluas cakupan pemajakan atas transaksi digital yang bakal berjalan lebih sistematis mulai tahun 2026 mendatang.
Merespons kabar tersebut, Chief Executive Officer (CEO) Tokocrypto, Calvin Kizana melalui keterangan resmi menjelaskan. Pihaknya menyambut baik proses penyusunan perpajakan aset kripto oleh DJP. Hal itu menunjukkan komitmen pemerintah dalam mengatur industri dengan pendekatan yang inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi serta keuangan digital.
Sebagai catatan, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI kemarin. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto mengungkap bahwa pihaknya tengah merencanakan dan memfinalisasi beberapa kebijakan yang berhubungan dengan pengenaan pajak transaksi atas aset kripto dan juga penunjukkan lembaga jasa keuangan untuk bullion.
Sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 di 1 Mei 2022 lalu, aset kripto telah menjadi bagian integral dalam sistem perpajakan nasional. Meski demikian, DJP mencatat adanya beberapa tantangan dalam implementasi pajak kripto.
Termasuk di dalamnya perihal rendahnya literasi pajak di kalangan pelaku pasar dan kompleksitas dalam mealcak transaksi yang bersifat anonim. Sebagai respons, pemerintah akan memperkuat edukasi dan menyederhanakan mekanisme pelaporan.
Berharap PPN Kripto Dihapus
Lebih jauh lanjut Calvin, pengenaan pajak yang adil dan proporsional akan mendukung pertumbuhan industri. Ia juga berharap agar revisi aturan perpajakan mempertimbangkan status aset kripto yang kini berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yakni sebagai aset keuangan, bukan lagi komoditas.
“Saat ini kripto masih dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% dan PPh final 0,1%, sebagaimana tersebut dalam PMK No. 68 dan PMK No. 81 Tahun 2024. Namun, jika kripto diperlakukan sebagai produk keuangan, maka seharusnya tidak dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya. Kami berharap revisi PMK No. 81 bisa mengakomodasi hal ini,” jelas Calvin.
Calvin menambahkan, meskipun regulasi pajak kripto di Indonesia sudah cukup moderat ketimbang negara lain. Seperti Amerika Serikat yang mengenakan PPh hingga 37% atas capital gain dari aset digital, masih ada ruang untuk penyempurnaan.
“Beberapa negara seperti Thailand bahkan telah mengambil langkah progresif dengan membebaskan pajak penghasilan pribadi atas transaksi kripto lokal hingga 2029. Ini adalah sinyal bahwa pendekatan fiskal yang suportif bisa mendorong daya saing industri,” tambahnya.
Dengan kebijakan pajak yang lebih proporsional dan penguatan sistem. Industri aset digital di Indonesia bisa berkembang lebih sehat, transparan, dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara.
Bagaimana pendapat Anda tentang harapan industri agar PPN kripto mengalami revisi? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.
