Di tempat yang tidak jauh dari gelaran Coinfest Asia 2022, tim Be[In]Crypto pada hari Jumat (26/8) berkesempatan duduk bersama dengan Rahul Advani, Policy Director Ripple APAC (Asia Pasifik), untuk mendiskusikan berbagai hal. Dalam bagian tulisan ini, dia menguraikan mengenai berbagai operasi yang dijalankan Ripple dan kapasitasnya; seperti pada RippleNet, on-demand liquidity (ODL), XRP Ledger, hingga RippleX.
Berdasarkan penjelasannya, Ripple adalah enterprise blockchain company dan solusi andalan yang sekarang telah beroperasi selama sekitar 10 tahun. Masalah yang dipecahkan adalah persoalan yang sangat unik, yaitu gesekan yang konsumen miliki dalam pembayaran lintas batas.
Dengan menggunakan RippleNet, maka akan memungkinkan konsumen melakukan pengiriman dana lintas batas lebih cepat dan efisien. Selain itu, biayanya pun jadi jauh lebih rendah daripada metode perbankan koresponden tradisional.
“Jadi kalau dipikir-pikir, kalau ingin mengirim uang dari Indonesia ke Singapura, bisa 3 sampai 5 hari, ‘kan. Dan kita tidak tahu berapa biaya transfer itu. Baru setelah transfer dilakukan, kita bisa tahu berapa sebenarnya biayanya,” jelas Rahul Advani.
Baginya, mekanisme transfer seperti demikian bukan proses yang transparan. Dengan RippleNet, Advani mengatakan bahwa transaksi tersebut dapat dilakukan dalam hitungan detik; tidak perlu menunggu 3 hingga 5 hari. Selain itu, pada saat yang sama, transfer dengan RippleNet pun jadi sangat transparan. Semua orang tahu aliran itu, tahu di mana dananya. Oleh karena itu, biasanya RippleNet digunakan oleh bank dan penyedia layanan pembayaran.
Kemampuan yang Ditawarkan On-Demand Liquidity (ODL) dari Ripple
Sekarang, selain solusi RippleNet, yang pada dasarnya adalah ‘solusi sistem pengiriman pesan transaksi’ yang ditawarkan; Ripple juga memiliki solusi yang disebut on-demand liquidity (ODL) atau likuiditas berdasarkan permintaan.
Masalah lain yang dihadapi oleh bank maupun penyedia layanan pembayaran (payment service provider / PSP) adalah ketika ingin membuka koridor di wilayah baru. Sebagai ilustrasi, suatu bank di Indonesia melihat banyak potensi di Timur Tengah dan ingin membuka koridor antara Indonesia, misalnya, dengan Bahrain, karena melihat banyaknya remitansi yang datang dari Timur Tengah ke Indonesia; untuk melakukan itu, pihak Indonesia harus membuka rekening bank koresponden dengan bank koresponden di Bahrain. Selain itu, mereka harus melakukan apa yang disebut pre funding pada akun itu. Hal yang dilakukan oleh ODL Ripple adalah menghilangkan langkah pre funding itu.
“Anda dapat menggunakan aset digital XRP. Dan itu memecahkan pre funding menggunakan data perpesanan RippleNet itu juga. Jadi, kombinasi ODL dan RippleNet memecahkan masalah yang dimiliki dengan pre funding dan kurangnya efisiensi yang dilihat pada sistem perbankan koresponden tradisional. Jadi, itulah sisi RippleNet yang sangat fokus pada cross-border funding atau pendanaan lintas batas,” katanya.
Dia melanjutkan, “Dan dalam banyak hal, kami kembali ke akar kami. Ketika kami memulai RippleNet 10 tahun lalu, market belum benar-benar siap untuk aset digital sebagai bagian dari aliran semacam ini. Dan seiring dengan pertumbuhan market, seiring dengan perkembangan market, kami sekarang telah melihat pengembalian ODL yang jauh lebih besar secara global, dan terutama dalam sebuah paket yang memimpin kawasan ini.”
- Baca Juga: Coinfest Asia 2022 Hari Kedua: Dihadiri Lebih dari 1.000 Peserta, Akan Kembali Hadir Tahun 2023
Kapasitas yang Dimiliki XRP Ledger & RippleX
XRP adalah native asset digital dari XRP Ledger. Ripple menggunakan XRP dalam solusinya. Sementara itu, XRP Ledger adalah sesuatu yang terpisah. XRP Ledger merupakan blockchain independen yang terdesentralisasi. Ripple menggunakan XRP dan menggunakan XRP Ledger sebagai solusi dalam dunia finansial.
Tidak hanya itu, hal yang menarik adalah XRP Ledger juga tersedia untuk dikembangkan oleh para developer. Terlebih lagi, berdasarkan apa yang telah terlihat selama beberapa tahun terakhir adalah Ripple melihat tokenisasi dari semua jenis aset.
“Kami melihat NFT. Stablecoin yang menjadi lebih populer, seperti yang kami diskusikan kemarin di panel [Coinfest Asia 2022]. Kemudian, mata uang digital bank sentral atau CBDC yang menjadi semakin penting,” kata Rahul Advani.
Ripple memiliki sebuah unit bisnis bernama RippleX yang menyediakan peralatan, layanan, protokol, dan program bagi para developer. Dengan begitu, para developer dapat memulai menggunakan XRP Ledger dan membangun beragam use case baru di dalamnya.
- Baca Juga: Jadi Mitra Pembayaran bagi GrabPay hingga Shopee Pay, FOMO Pay Kini Jalin Kolaborasi dengan Ripple
Mendukung Beragam Proyek: NFT, Stablecoin, hingga CBDC
“Jadi misalnya, dengan NFT yang kami mulai, sebuah creator fund yang mendorong para kreator NFT untuk menggunakan XRP Ledger. Untuk stablecoin, kami memiliki 2 kemitraan. Salah satunya adalah dengan STASIS di Uni Eropa yang merupakan stablecoin yang didukung euro. Sementara di Australia memiliki kemitraan dengan Novatti yang merupakan stablecoin dolar Australia yang menggunakan XRP Ledger,” terangnya.
Kemudian, dalam hal CBDC, Advani menjelaskan bahwa Ripple juga memiliki pilot project. Mereka memiliki private ledger, karena bank sentral ingin memiliki ledger ‘privat’. Maka dari itu, mereka juga menjadikan XRP Ledger sebagai private untuk bank sentral.
“Jadi kami [dalam hal ini] memiliki fungsi yang sama, manfaat yang sama, yaitu XRP Ledger, yang pada dasarnya dibuat untuk pembayaran. Dengan ini, Anda mendapatkan kecepatan, Anda mendapatkan efisiensi XRP Ledger, tetapi bank sentral memiliki kendali penuh atas penerbitan dan pengelolaan CBDC mereka,” ungkap Rahul Advani.
Pilot Project CBDC & Stablecoin
Selanjutnya, saat membahas CBDC dan stablecoin, Rahul Advani menuturkan bahwa Ripple memiliki pilot project di Bhutan dengan Otoritas Moneter Kerajaan Bhutan. Proyek tersebut merupakan percontohan dari wholesale dan retail CBDC. Lalu, Ripple juga memiliki pilot project CBDC di Palau. Akan tetapi, proyek percontohan ini sedikit berbeda, karena negara ini menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (USD) sebagai legal tender di negaranya.
Di Palau, hal ini dapat terjadi setelah pemerintah setempat mulai menyadari pada suatu momen mereka memiliki kekurangan akses ke mata uang fisik USD lantaran percetakannya ada di Amerika Serikat (AS). Dengan demikian, adanya proses pengiriman dolar AS ke Palau pun memicu kebutuhan akan sebuah alternatif.
Rahul Advani mengatakan, “Jadi, kami sedang mengerjakannya, yang saya pikir ini mungkin akan menjadi stablecoin pertama yang didukung oleh pemerintah Palau yang masih di-backup dengan dolar AS.”
Ripple Tawarkan Hibah XRP
Rahul Advani juga mengatakan bahwa Ripple memiliki hibah (grant) XRP. Hal ini dilandasi pada siklus terbaru baru saja mereka mulai bulan ini. Perusahaan mendorong para developer yang memiliki sebuah bukti konsep (proof-of-concept), serta memiliki sesuatu yang ingin mereka kembangkan di XRP Ledger.
“Kami menawarkan hibah kepada mereka. Jadi ini, saya kira secara keseluruhan bagaimana Ripple bekerja. Antara RippleNet fokus pada likuiditas kripto dan fokus pada pembayaran lintas batas, serta kemudian RippleX yang lebih fokus pada pembangunan di XRP Ledger.
Dengan pengalaman 10 tahun, Rahul Advani menegaskan bahwa Ripple bukan pemain baru dalam bisnis ini.
“Kami telah memulai dengan pembayaran, tetapi kami telah melihat peluang yang ada di bagian lain dari tokenisasi aset. Jadi saya pikir kami di sini untuk tinggal. Kami berkomitmen untuk mengembangkan XRP Leger,” pungkasnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram Be[In]Crypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.