Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyelesaikan peralihan pengaturan aset kripto sesuai dengan mandat UU P2SK. Mulai 10 Januari kemarin, OJK secara resmi memasukkan aset keuangan digital dan aset kripto ke dalam pengawasannya, bersanding dengan industri jasa keuangan lainnya. Lantas apa perbedaannya?
Menjawab hal itu, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi mengatakan, dengan beralihnya pengawasan aset kripto di bawah OJK, klasifikasi kripto yang semula dianggap sebagai komoditas juga berubah. Saat ini aset kripto di bawah OJK masuk sebagai instrumen dan juga aset keuangan.
Perubahan ini membawa dampak yang tidak sedikit. Pasalnya, mulai dari penanganan, pengembangan dan juga integrasi regulasi dengan sistem keuangan lainnya bisa menjadi lebih mungkin untuk terlaksana.
“Aset kripto di bawah Kemendag, fokus pengaturan lebih dipahami pada aspek perdagangan dan penyelenggaraan pasar berjangka. Setelah di OJK, kami akan menerapkan pendekatan yang lebih luas. Termasuk di dalamnya terkait aspek penawaran, tata kelola hingga integrasi dengan sektor keuangan lainnya,” jelas Hasan saat Konferensi Pers daring.
OJK pastikan Tidak Akan Kikis Desentralisasi Pasar Kripto
Hasan menambahkan, dalam melakukan pengawasan, pihaknya memastikan tidak akan mengikis aspek desentralisasi yang selama ini melekat di dalam ruang kripto. Meski demikian, OJK mengaku akan secara ketat melakukan pengawasan transaksi perdagangan.
Upaya itu merupakan salah satu strategi untuk memastikan setiap perdagangan aset kripto tetap berjalan secara aman, adil, teratur, bebas manipulasi pasar dan tidak menimbulkan risiko bagi pihak yang terlibat.
“Aset kripto berbasis teknologi blockchain memiliki potensi sangat besar untuk mendorong sektor jasa keuangan. Namun di sisi lain, terdapat juga risiko yang menyangkut keamanan dan juga kejahatan. Kehadiran OJK untuk melindungi seluruh pihak, khususnya konsumen,” tambah Hasan.
Selain itu, dalam menjalankan pengawasannya, OJK memilih menggunakan pengawasan berbasis risiko untuk bisa menyesuaikan intensitas pengawasan dengan tingkat risiko. Dalam kacamata Hasan, pendekatan ini sangat relevan untuk bisa diterapkan pada aset kripto.
Mekanisme itu akan mengatur setiap Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang memiliki volume transaksi lebih tinggi, akan menggunakan aturan yang lebih ketat.
Sebagai catatan, sebelumnya Hasan sempat mengatakan bahwa pengaturan dan juga pengawasan yang akan dilakukan juga akan mencakup model bisnis yang selama ini belum pernah disentuh oleh Bappebti. Yakni model decentralized finance (DeFi) dan juga non-fungible token (NFT).
Bagaimana pendapat Anda tentang perbedaaan pengawasan aset kripto di bawah OJK dan Bappebti ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.