Lihat lebih banyak

Simak 6 Perbedaan Saham dan Crypto, Biar Tambah Cuan!

9 mins
Diperbarui oleh Lynn Wang
Gabung Komunitas Trading Kami di Telegram

Dunia investasi, baik itu saham ataupun crypto mengalami pertumbuhan yang menawan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), sampai dengan Mei tahun ini jumlah investor pasar modal di Indonesia sudah mencapai 8.859.468 investor. Sedangkan, jumlah investor crypto sampai dengan Desember tahun lalu saja sudah mencapai 11,2 juta investor. Namun, apakah pertumbuhan jumlah investor bisa diartikan bahwa banyak orang sudah mengetahui perbedaan saham dan crypto?

Pertumbuhan jumlah investor aset berisiko terjadi di tengah gempuran pandemi Covid-19 yang melanda di hampir semua negara. Tengok saja, jumlah investor ritel di pasar modal Indonesia melonjak drastis sejak tahun 2020 silam.

Kala itu, jumlah investor saham mencapai 3.880.753 atau meningkat 56,21% dari tahun sebelumnya. Kemudian, pada tahun 2021 angkanya kembali melesat 92,99% ke level 7.489.337 dan di Mei tahun ini jumlahnya kembali bertambah menjadi 8.859.468.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, pertumbuhan investor ritel pada tahun 2021 ditopang oleh kalangan milenial dan generasi Z. Golongan generasi yang lahir di periode tahun 1981 – 1996 dan 1997 – 2012 itu mencapai 88% dari total investor ritel baru di tahun lalu.

Lonjakan pertumbuhan jumlah investor ritel juga berdampak terhadap dominasi investor ritel terhadap aktivitas perdagangan harian di pasar saham, yang mencapai 56,2% dari tahun sebelumnya. Adapun jumlah investor ritel di tahun lalu sebesar hanya 48,4%.

Sedangkan, untuk investor crypto, pada tahun 2020 lalu, jumlahnya hanya mencapai 4 juta orang. Kemudian, mendaki hingga 11,2 juta orang di 2021 atau meningkat 180% dalam jangka waktu 1 tahun.

Selama pandemi berlangsung, pemerintah melakukan pembatasan aktivitas masyarakat. Terlebih lagi, adanya perlambatan ekonomi yang terjadi di hampir setiap negara, membuat banyak orang akhirnya mengatur ulang portofolio investasinya.

Hasil “Studi Investor Global 2021” yang dilakukan oleh Schroders mengungkapkan bahwa sekitar 37% orang memiliki minat untuk berinvestasi di instrumen investasi berisiko tinggi. Hal itu terjadi di tengah pelonggaran kebijakan pembatasan aktivitas sosial saat pandemi.


Generasi Muda Memilih Investasi Berisiko

Laporan Blockwave: 10% Populasi Global Akan Mengadopsi Bitcoin (BTC) di Tahun 2030

Generasi yang memilih untuk mengalokasikan dananya untuk investasi di aset berisiko, seperti saham ataupun crypto, didominasi oleh generasi muda. Adapun yang tergolong dalam generasi muda ini merupakan 44% dari mereka yang berusia 18 – 37 tahun dan 37% untuk usia 38 – 50 tahun.

Hal itu berlandaskan pada strategi investasi yang mereka usung, yakni mengharapkan imbal hasil yang lebih tinggi dan mampu menerima risiko yang ada. Untuk investor ahli, 49% orang memilih untuk mengalokasikan lebih banyak dana di aset berisiko. Sedangkan, bagi investor pemula, hanya 24% yang mengaku siap untuk menggelontorkan lebih banyak dana di instrumen berisiko. Perubahan portofolio investasi terbesar terjadi di Amerika Serikat (AS), yang mana 53% investor mengaku akan mengalokasikan lebih banyak dana untuk investasi berisiko seperti saham ataupun crypto.

Instrumen investasi berisiko utama yang menjadi rujukan para investor adalah saham dan reksa dana perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik (24%). Kemudian, saham atau reksa dana perusahaan biotek (23%). Sementara itu, 22% investor memilih saham atau reksa dana perusahaan teknologi dan 22% lainnya memilih untuk berinvestasi di cryptocurrency. Namun, jika dilihat dalam 1 tahun terakhir, selera untuk berinvestasi dalam cryptocurrency mencapai 55%.


Minat terhadap Aset Berisiko Tidak Diimbangi dengan Literasi yang Mumpuni

Ilustrasi Literasi Crypto | Perbedaan Saham dan Crypto

Tren suku bunga rendah yang selama ini diberlakukan di banyak negara untuk mendongkrak perekonomian menjadi katalis positif dalam pertumbuhan investor di kelas aset berisiko. Membincang investasi berisiko, baik saham ataupun crypto, keduanya merupakan primadona bagi banyak orang. Sayangnya, pemahaman tentang dua kelas aset investasi tersebut masih tergolong rendah.

Tingkat literasi terkait pasar modal masih sangat rendah, yakni kurang dari 5%. Sementara itu, untuk literasi seputar cryptocurrency, berdasarkan hasil survei “Cryptoliteracy“, sebanyak 98% responden tidak lolos tes yang menyajikan tentang dasar pemahaman crypto.

Survei yang dilakukan oleh YouGov itu menyasar 1.000 pengguna internet yang menggunakan crypto atau Bitcoin-aware. Survei tersebut berisi 17 pertanyaan seputar NFT, mata uang crypto, Bitcoin, mining crypto, DeFi, dompet kripto, blockchain dan sentimen lain yang menyebabkan volatilitas harga crypto.


6 Perbedaan Dasar Saham dan Crypto

Supaya tingkat pemahaman kamu tentang dua aset investasi populer tersebut semakin luas, yuk, simak perbedaan saham dan crypto berikut ini!

1. Perbedaan Kepemilikan Saham dan Crypto

Poster BAPPEBTI | Perbedaan Saham dan Crypto
foto : Bappebti

Perbedaan paling mendasar antara saham dan crypto terletak pada kepemilikan atas aset yang ada di belakang instrumen investasi tersebut.

Saat kamu membeli saham perusahaan tertentu, artinya kamu juga ‘membeli’ sebagian perusahaan dan juga bisnisnya. Jumlah saham yang kamu beli mewakili kepemilikan atas saham perusahaan tersebut.

Warren Buffet, yang dijuluki The Oracle of Omaha, menjelaskan bahwa saat membeli saham, dirinya melakukan analisa laporan keuangan dan prospek bisnis perusahaan yang akan dibelinya. Karena begitu sudah memutuskan untuk membeli saham tertentu, artinya kamu juga sudah percaya akan bisnis yang dijalankan dan rencana pengembangannya.

Saham didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal dalam suatu perusahaan. Dengan saham juga, kamu memiliki bukti kepemilikan perusahaan tersebut. Kamu bisa mendapatkan klaim atas pendapatan perusahaan melalui dividen, klaim atas aset perusahaan, serta berhak hadir dalam mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Sedangkan, bagi investor crypto, kepemilikan kamu atas koin atau token yang dibeli tidak mewakili project yang akan dibangun atau perusahaan crypto itu sendiri. Investasi crypto yang dilakukan hanya menunjukkan kepemilikan atas jumlah aset kripto yang dibeli.

Selain itu, dalam crypto, baik itu koin ataupun token, tidak ada aset yang melekat langsung; melainkan lebih menekankan pada fungsi dan juga ekosistem yang dibangun. Semakin baik proyek yang akan dibangun, biasanya akan memengaruhi pergerakan dari harga cryptocurrency itu sendiri.

Meskipun begitu, untuk jenis token tertentu, seperti governance token, misalnya; memberikan hak kepada pemegangnya untuk ikut menentukan masa depan protokolnya. Secara mudah, governance token dapat diibaratkan sebagai cryptocurrency yang bisa dijadikan “tiket” untuk kamu menggunakan hak tata kelola di dalam protokol tersebut.

Salah satu governance token yang populer adalah Maker (MKR). Token ini memungkinkan setiap pemegangnya untuk memberikan suara pada keputusan yang berkaitan dengan protokol decentralized finance (DeFi). Contohnya, kamu yang memegang token MKR bisa memilih untuk mengubah aturan ekonomi yang mengatur pinjaman terdesentralisasi yang memungkinkan DAI menjaga harganya tetap stabil.

2. Perbedaan Penerbit Saham dan Crypto

Perbedaan saham dan crypto berikutnya adalah dari segi penerbitnya (issuer). Instrumen saham yang dibeli oleh investor di pasar modal merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh suatu perusahaan. Perusahaan tersebut melakukan penawaran saham dengan jumlah tertentu agar bisa mendapatkan modal. Saham yang diterbitkan dan dijual untuk umum disebut sebagai saham publik.

Aksi tersebut dinamakan Initial Public Offering (IPO). Biasanya, dalam mekanisme tersebut, akan ditetapkan harga penawaran awal untuk menjadi patokan saat perdagangan perdana saham. Setiap investor bisa membeli dan menjualnya di pasar reguler maupun sekunder melalui platform trading saham.

Di Indonesia, saham yang sudah ditawarkan ke publik akan dicatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga membuat status perusahaan berubah menjadi perusahaan tercatat alias perusahaan terbuka. Saham yang beredar di publik perlu didaftarkan di BEI sebelum bisa diperdagangkan oleh banyak pihak. Jumlah saham yang diterbitkan akan tercatat pada neraca perusahaan sebagai modal saham atau biasa disebut sebagai ekuitas.

Sementara itu, cryptocurrency diterbitkan oleh pengembang yang memiliki tujuan untuk membangun ekosistem digital atau untuk menggantikan fungsi mata uang fiat.

Seperti Ethereum, misalnya. Cryptocurrency yang memiliki kode ETH itu diciptakan oleh Vitalik Buterin dan beberapa orang co-founder lain pada tahun 2013 lalu. Lalu, untuk cryptocurrency tertua di pasar, yakni Bitcoin, diciptakan oleh sosok anonim yang menggunakan nama samaran Satoshi Nakamoto.

Jika saham melakukan penawaran perdagangan perdananya lewat IPO, maka cryptocurrency melakukan penawaran koin perdananya dengan Initial Coin Offering alias ICO. Konsep yang melandasi ICO sebenarnya sama seperti IPO, yakni untuk mengumpulkan modal guna mendanai proyek yang akan developer bangun.

Proses ICO dilakukan di exchange tertentu atau yang lazim disebut sebagai bursa crypto. Dinamakan demikian, karena dalam exchange terdapat banyak cryptocurrency yang diperjualbelikan secara real-time.

Selain itu, saham dan crypto juga memiliki perbedaan pada perusahaan pencatatnya. Saham Indonesia hanya memerlukan BEI untuk bisa diakses oleh semua investor, sedangkan cryptocurrency harus melakukan ICO di banyak exchange agar bisa mendapatkan eksposur lebih luas.

3. Lembaga yang Meregulasi Saham dan Crypto Berbeda

Perbedaan saham dan crypto lainnya yang terlihat jelas adalah regulator yang menaunginya.

Lembaga Regulator Saham di Indonesia

Potret IDX | Perbedaan Saham dan Crypto
Sumber: IDX.co.id

Di Indonesia, transaksi saham ada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Komisioner Pasar Modal.

Selain itu, juga terdapat regulator lain yang dinamakan SRO atau self regulatory officer. Mereka adalah Bursa Efek Indonesia (BEI), PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan PT. Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI).

Ketiganya memiliki fungsi yang berbeda dalam dunia investasi saham. BEI bertindak sebagai “wasit” dalam perdagangan saham. Jika transaksi yang mencurigakan dari salah satu saham, maka perusahaan pemilik saham tersebut akan mendapatkan peringatan. Bentuk peringatannya berjenjang. Mulai dari peringatan tertulis sembari meminta klarifikasi terkait pergerakan saham yang mencurigakan, hingga dilakukan penangguhan perdagangan dalam jangka waktu tertentu.

Saham yang bergerak tidak lazim dan masuk dalam radar BEI akan dikategorikan sebagai unusual market activity (UMA). Pergerakan yang dimaksud tidak hanya untuk peningkatan harga saja. Apabila terjadi penurunan harga berturut-turut dalam jangka waktu tertentu, BEI bisa juga menetapkannya sebagai UMA.

Bursa Efek Indonesia juga bertindak sebagai pembuat peraturan dalam perdagangan saham. Misalnya, peraturan batas atas kenaikan harga saham atau yang dikenal dengan istilah auto reject atas (ARA) dan juga batas bawah untuk penurunan harga saham atau yang disebut auto reject bawah (ARB). Adapun harga saham terendah yang ada di dalam papan utama berada di level Rp50 per saham.

Selain itu, BEI juga mengatur waktu perdagangan saham di Indonesia, yakni mulai pukul 09.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB di hari Senin sampai Jumat.

Untuk memudahkan proses analisa investor sekaligus melindungi transaksi para pelaku pasar, Bursa Efek Indonesia membagi papan perdagangan saham menjadi 3. Pertama, papan utama yang diperuntukkan bagi calon emiten berskala besar dalam soal aset dan telah memilki rekam jejak keuangan yang baik. Kemudian, papan kedua adalah papan pengembangan yang diperuntukkan bagi perusahaan yang belum membukukan laba bersih. Terakhir adalah papan akselerasi yang dimaksudkan untuk perusahaan dengan aset skala kecil dan menengah (UKM).

Setelah itu, proses penyimpanan dan penyelesaian transaksi efek yang dilakukan oleh investor disimpan dalam KSEI. Sedangkan, proses penjaminan penyelesaian transaksi bursa dilakukan oleh KPEI.

Lembaga Regulator Crypto

Sementara itu, di industri crypto, belum ada lembaga regulator yang mengatur pergerakan harganya. Hal ini dikarenakan sifat dari cryptocurrency yang terdesentralisasi dan otonom.

Pasar crypto sendiri dikatakan oleh Ketua Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) Amerika Serikat (AS), Gary Gensler, sebagai wild west, karena tidak ada regulator manapun yang melakukan kontrol di industri crypto.

Kontras dengan saham, pasar perdagangan crypto buka selama 24 jam, 7 hari seminggu, dan 365 hari dalam 1 tahun. Artinya, pasar tersebut akan terus melakukan perdagangan tanpa henti. Selain itu, tidak ada batasan harga untuk peningkatan ataupun penurunan.

Itulah mengapa akhirnya volatilitas aset kripto menjadi sangat tinggi, sebab harganya bisa naik atau turun tanpa dinding pembatas.

Di Indonesia, perdagangan cryptocurrency berada di bawah pengawasan Badan Pengawasan Perdaganan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI). Lembaga negara yang berada di bawah Kementerian Perdagangan itu menentukan cryptocurrency mana saja yang sudah terdaftar, serta calon pedagang crypto yang bisa melakukan aktivitasnya di Indonesia.

Setiap bursa crypto yang ingin melakukan perdagangan di Indonesia harus mendapatkan persetujuan dari Bappebti. Meski sudah ada lembaga yang mengawasi, namun adopsi cryptocurrency di Indonesia dilarang keras untuk digunakan sebagai alat pembayaran. Cryptocurrency di tanah air hanya boleh digunakan dan diperlakukan sebagai instrumen investasi.

4. Sumber Mata Uang untuk Transaksi

Selanjutnya, perbadaan saham dan crypto lainnya adalah di sumber mata uang untuk bertransaksi. Saat kamu ingin membeli saham tertentu, maka transaksi dilakukan dalam mata uang rupiah. Hal itu sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17 /3/PBI/2015 yang menyebutkan tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harga saham yang tertera dalam perdagangan juga dalam bentuk rupiah.

Sementara untuk transaksi kripto, investor tidak wajib membelinya dengan rupiah. Mereka bisa membeli dengan rupiah ataupun pilihan mata uang asing lain, seperti dolar AS atau euro, yang tersedia di bursa. Selain itu, mereka juga bisa menggunakan suatu cryptocurrency untuk membeli cryptocurrency lainnya. Sebagai contoh, kamu bisa membeli Bitcoin (BTC) dengan stablecoin Tether USD (USDT) atau USD Coin (USDC).

5. Perbedaan Fluktuasi antara Saham dan Crypto

Meskipun baik saham maupun crypto tergolong sebagai aset berisiko; namun investasi saham masih masuk dalam kategori fluktuatif, sedangkan investasi crypto sangat fluktuatif.

Contoh fluktuasi crypto bisa kita lihat pada Bitcoin. Pada awal tahun lalu, harga Bitcoin diperdagangkan di level US$31.971,91. Kemudian, di November tahun lalu, Bitcoin mencapai level tertingginya ke kisaran US$67.566,83. Sementara, per hari ini (16/6), harga BTC sudah ambruk ke level US$20.882,42.

Fluktuasi yang terjadi pada Bitcoin dan cryptocurrency lainnya dikarenakan tidak adanya aset riil yang melekat dalam cryptocurrency, selain stablecoin. Sementara itu, pergerakan harga di saham fluktuatif seiring dengan kinerja perusahaan ataupun sentimen yang memengaruhi kinerja perusahaan itu sendiri.

6. Perbedaan Fungsionalitas Saham dan Crypto

Demi Mengurangi Dampak Lingkungan Akibat Mining Bitcoin, Gedung Putih Siapkan Laporan Baru

Perbedaaan saham dan crypto terakhir yang akan kita bahas dalam ulasan ini adalah perihal fungsionalitas alias kegunaan.

Selain sebagai instrumen investasi, saham juga dikategorikan sebagai aset bergerak. Dengan demikian, saham bisa diperlakukan sebagai jaminan untuk melakukan gadai efek. Setiap investor yang melakukan gadai efek bisa mendapatkan layanan pinjaman dengan nominal tertentu.

Berbeda dengan cryptocurrency yang tergolong sebagai “uang pintar”. Di beberapa negara, cryptocurrency bisa digunakan untuk mentransfer uang ke rekening bank, baik itu antardaerah ataupun antarnegara. Tak hanya itu, cryptocurrency juga bisa digunakan di aplikasi yang mengusung konsep decentralized finance (DeFi). Misalnya, untuk bermain game di metaverse, melakukan jual beli non-fungible token (NFT), mendapatkan keuntungan pasif dengan melakukan yield farming dan staking, serta berbagai fungsi lainnya.


Nah, setelah membaca ulasan ini, tentunya kamu sudah memahami perbedaan antara saham dan crypto, bukan? Satu hal lagi yang tak kalah penting, karena saham dan crypto adalah golongan kelas aset berisiko, maka perlu kehati-hatian yang ekstra sebelum berinvestasi di dalamnya.

Platform kripto terbaik di Indonesia | April 2024

Trusted

Penyangkalan

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi. Prioritas kami adalah menyediakan informasi berkualitas tinggi. Kami meluangkan waktu untuk mengidentifikasi, meriset, dan membuat konten edukasi yang sekiranya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami menerima komisi dari para mitra kami untuk penempatan produk atau jasa mereka dalam artikel kami, supaya kami bisa tetap menjaga standar mutu dan terus memproduksi konten yang luar biasa. Meski demikian, pemberian komisi ini tidak akan memengaruhi proses kami dalam membuat konten yang tidak bias, jujur, dan bermanfaat.

BIC_userpic_sb-49-profil.jpg
Adalah seorang penulis dan editor yang pernah berkiprah di banyak media ekonomi dan bisnis. Memiliki pengalaman 7 tahun di bidang konten keuangan, bursa dan startup. Percaya bahwa blockchain dan Web3 akan menjadi peta jalan baru bagi semua sektor kehidupan
READ FULL BIO
Disponsori
Disponsori