Di sela-sela acara Coinfest Asia 2023, BeInCrypto Indonesia berkesempatan berbincang bersama dengan Bobby Lee, pendiri dan CEO Ballet, untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk mengenai regulasi kripto di Hong Kong.
Bobby Lee adalah pendiri BTCC yang merupakan crypto exchange pertama di Cina. Dia merupakan sosok pengusaha kripto yang bisnisnya ditutup oleh pemerintah Cina seiring tindakan keras dari regulator.
BTCC didirikan pada Juni 2011. Pada September 2017, perusahaan itu mengumumkan akan menghentikan semua bisnisnya, sebagai reaksi terhadap otoritas Cina yang melarang initial coin offering (ICO).
BTCC lantas diakuisisi oleh sebuah unit dana investasi blockchain yang berbasis di Hong Kong pada Januari 2018 untuk memindahkan operasi keluar dari Cina.
Setelah mengarungi petualangan dengan BTCC, Bobby Lee kemudian mendirikan perusahaan crypto cold storage bernama Ballet yang berbasis di Amerika Serikat (AS) pada awal 2019.
Bobby Lee adalah sosok yang pertama kali memberi tahu Changpeng ‘CZ’ Zhao, pendiri dan CEO Binance, tentang apa itu Bitcoin pada tahun 2013.
Melompat pada 30 Mei tahun ini, Bobby Lee mencuri perhatian komunitas kripto karena skeptis dengan rezim peraturan baru Hong Kong yang ingin menjadi crypto hub.
Dia menganggap pengalamannya di Cina sebagai kisah peringatan bagi para perusahaan yang tertarik dengan niat Hong Kong menjadi wilayah yang ramah bagi industri kripto.
Masih Ragu dengan Rezim Kripto Baru Hong Kong
Saat ditemui di acara Coinfest Asia 2023 pada 24 Agustus lalu, Bobby Lee masih tetap menyimpan keraguan pada potensi Hong Kong sebagai crypto hub yang ideal. Sebab, Hong Kong bukanlah negara yang berdiri sendiri, tetapi hanyalah sebuah wilayah administratif khusus yang masih bagian dari Cina.
Oleh karena itu, Bobby Lee menilai peraturan Hong Kong, termasuk rezim kripto baru di sana, akan selalu dicermati dan ditinjau oleh pemerintah pusat Cina.
“Menurut saya, peraturan Hong Kong yang memperbolehkan perdagangan aset kripto [termasuk bagi investor ritel] bersifat sementara. Itu [hanya] seperti sebuah sandbox. Hal tersebut memungkinkan para pelanggan ke Hong Kong untuk memperdagangkan kripto di crypto exchange berlisensi,” urai Bobby Lee.
Sandbox adalah pendekatan yang memungkinkan pengujian inovasi secara langsung di bawah pengawasan regulator.
Kemudian, Bobby Lee melanjutkan dengan mengatakan, “Namun, pertanyaannya adalah, berapa lama lisensi [bagi perusahaan kripto] tersebut akan berlaku. Sampai Cina daratan mengizinkan perdagangan aset kripto? Saya rasa, jaminan Hong Kong [sebagai yurisdiksi yang ramah kripto] tidak akan bertahan selamanya. Jadi itulah pemikiran saya.”
Meski regulator Hong Kong dalam beberapa waktu terakhir terlihat cukup memiliki sikap positif terhadap perkembangan web3, Bobby Lee melihat rezim peraturan kripto baru yang dimulai sejak awal Juni 2023 itu hanya lebih terbatas pada perdagangan aset kripto saja.
Dia merasa, itu belum untuk ekonomi kripto secara luas. Terkait adopsi Hong Kong pada ekonomi kripto secara lebih luas, dia masih ragu dan berpikir itu akan memakan waktu.
Hong Kong Tak Punya Kerangka Regulasi Kripto Independen
Bobby Lee menegaskan bahwa dia tidak serta merta tidak setuju dengan narasi bahwa ‘bull market berikutnya akan dimulai dari kawasan Asia seperti Hong Kong’.
“Saya hanya mengatakan, dalam jangka panjang, Hong Kong tidak akan memiliki kerangka regulasi kripto yang independen. Saya rasa, pada akhirnya Hong Kong akan [sepenuhnya] bergabung dengan Cina daratan,” ungkap Bobby Lee.
Dari sini dapat dipahami bahwa Bobby Lee menaruh poin penting pada independensi Hong Kong dalam time frame yang panjang.
Perlu diketahui, ada alasan mengapa Hong Kong memiliki kondisi yang cenderung berbeda dengan Cina daratan. Cerita bermula ketika wilayah Hong Kong yang awalnya dikuasai Inggris sejak 1841, kemudian dikembalikan kepada Cina pada tahun 1997. Itu adalah momentum bersejarah dimulainya pengaturan One Country, Two Systems.
Hal tersebut membuat Hong Kong akan terus menikmati aturan politik, sosio-ekonomi, hingga hukum, yang berbeda dari Cina daratan. Namun, hal tersebut tidak berlaku selamanya, tapi hanya terbatas sampai 50 tahun.
Durasi tahun itu adalah waktu bagi transisi Hong Kong bergabung dengan Cina dalam One Country, One System. Saat ini, masih ada sekitar 24 tahun lagi bagi Hong Kong menjadi wilayah administratif khusus.
Ternyata, kekhawatiran Bobby Lee terkait peran Hong Kong sebagai crypto hub adalah tentang wilayah administratif khusus itu yang hanya akan bertahan 24 tahun lagi.
“Jadi pertanyaannya, dalam 24 tahun ke depan, seberapa cepat integrasi [Hong Kong dan Cina] itu akan terjadi? Dalam 24 tahun ke depan, tidak akan ada perbatasan antara Hong Kong dan Cina daratan. Akan ada satu mata uang dalam satu sistem untuk berbagai aspek, seperti saham, perdagangan, dan semua simpanan bank. Itu [pada akhirnya] akan menjadi sistem monitor tunggal,” terangnya.
Dengan mempertimbangkan time frame yang panjang, itulah mengapa Bobby Lee cukup meragukan keberlanjutan rezim regulasi kripto yang cukup bersahabat di Hong Kong.
“Pertanyaannya adalah, apa yang terjadi dalam 5 tahun ke depan [di Hong Kong]? 10 tahun ke depan? 20 tahun ke depan? Atau bahkan 24 tahun ke depan? Akankah itu berubah? Saya pikir [regulasi kripto di Hong Kong yang cukup ramah] itu akan berubah,” tegas Bobby Lee.
- Baca Juga: Duel Sengit Hong Kong vs. Singapura untuk Jadi Crypto Hub Asia, Siapa yang Lebih Tangguh?
Lantas, Seperti Apa Crypto Hub yang Ideal?
Menurut Bobby Lee, yurisdiksi yang cukup ideal untuk menjadi kandidat crypto hub adalah adalah Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.
“Jika Anda ingin berbicara tentang Asia, menurut saya Singapura telah menjadi kandidat yang tepat untuk crypto hub. [Selain itu] ada Jepang dan Korea Selatan yang juga sangat pro terhadap kripto,” ungkap Bobby Lee.
Poin utamanya adalah, adopsi kripto dapat berhasil dan berkembang di negara dan wilayah yang pemerintahannya lebih terbuka dan dipilih secara demokratis.
“Alasannya adalah, karena pada akhirnya cryptocurrency mewakili kebebasan uang. Jadi, siapa yang menginginkan kebebasan uang? Masyarakat menginginkan kebebasan uang. Satu-satunya cara kebebasan uang bisa berkembang di sebuah negara adalah dalam sistem pemerintahan ketika rakyat dapat memilih dan memberi tahu pemerintah mereka apa yang harus dilakukan untuk memungkinkan kebebasan uang.”
Sebaliknya, bila suatu wilayah memiliki sistem yang membuat pemerintah memiliki power lebih untuk memutuskan apa yang diinginkan rakyat, maka pemerintahlah yang akan mengambil keputusan, bukan rakyat.
Dalam menentukan sebuah yurisdiksi apakah ideal menjadi crypto hub atau tidak, Bobby Lee memberikan resep, “Tinggal lihat siapa yang mengambil keputusan di wilayah itu. Apakah masyarakat atau [terpusat pada] pemerintah?”
Intinya, dia melihat kripto akan dapat berkembang di sebuah wilayah ketika masyarakat dapat membuat keputusan.
“Di wilayah ketika sebuah pemerintah yang membuat keputusan, secara umum, kripto akan sulit untuk berkembang. Sulit untuk berhasil.”
Lalu bagaimana dengan potensi Indonesia? Dengan mempertimbangkan adanya ruang demokrasi di Tanah Air, Bobby Lee mengatakan, “Jika masyarakat Indonesia menginginkan kripto sukses, maka kripto akan sukses di Indonesia. Itu akan menjadi sangat populer.”
Dia menyoroti fakta bahwa orang-orang bisa berkumpul dan dengan bebas menghadiri acara Coinfest 2023 di Bali secara besar-besaran, dan tidak ada yang berusaha menghentikannya. Itu artinya ada ruang adopsi kripto yang luar biasa di Indonesia.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.