Apakah kamu sedang mempertimbangkan untuk membawa perusahaanmu terjun ke industri metaverse? Jika iya, pertama-tama, mari kita memisahkan mana proyek metaverse yang nyata dan hype belaka, agar tak terjebak dalam miskonsepsi dalam dunia virtual ini. Dalam artikel ini, Thibault Launay, co-founder sekaligus CEO Exclusible, akan mengemukakan pendapatnya.
Apa itu metaverse? Definisinya mungkin akan sangat berbeda bagi setiap orang. Menurut pandangan generasi yang lebih tua, bahkan rapat Zoom saja bisa mereka anggap sebagai “metaverse.”
Tapi, jawaban yang paling umum ketika harus mendeskripsikan metaverse adalah sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan dunia realitas virtual (virtual reality) dan akan menjadi inovasi besar di masa depan. Siapa sangka, sektor ini ternyata menjadi inovasi baru yang berhasil memikat Meta/Facebook, sehingga perusahaannya rela menghabiskan US$10 miliar untuk menciptakan citra baru (rebranding) bagi perusahaan mereka dan membuat konsep metaverse mereka sendiri. Namun, sayangnya masih ada beberapa perusahaan yang terjebak dalam miskonsepsi nyata dalam memahami sektor digital yang baru lahir ini. Bahkan, mereka telah keliru dalam memahami definisinya.
Setelah menyelidiki lebih dari 100 metaverse berbeda yang saat ini ada di industri, saya telah mempersempitnya dan merangkum empat kesalahpahaman nyata yang perlu pendatang baru ketahui tentang metaverse.
Miskonsepsi Metaverse #1: Metaverse Siap untuk Diadopsi Massal
Sebagaimana sektor yang baru lahir pada umumnya, infrastruktur di metaverse juga masih dalam proses pembangunan. Hingga detik ini saja, pengembangan di industri ini juga terus berjalan. Maka dari itu, sektor ini secara khusus hanya bisa diakses oleh para pengadopsi awal, yang kebanyakan adalah para aktor di bidang teknologi, serta gaming. Bahkan, hardware yang diperlukan untuk menciptakan pengalaman yang lebih lancar juga menemui kendala akibat masalah aksesibilitasnya. Tidak hanya itu, kebutuhan akan graphic card dan prosesor komputer terbaik juga menjadi kendala yang menghambat adopsinya, yang mana semua aspek perkembangan di atas masih tertahan oleh rantai pasokan global yang terdisrupsi.
Gelaran fashion week pertama yang debut di metaverse, yang bahkan ramai digembar-gemborkan, juga tidak luput dari kekurangan. Faktanya, beberapa pengguna telah melaporkan bahwa pengalaman dalam acara itu “sangat lambat, membingungkan, atau tidak berfungsi sama sekali.”
Terlebih lagi, rata-rata orang juga belum tentu sudah memiliki perangkat komputer game yang memadai atau bahkan bandwidth pemrosesan minimum yang diperlukan untuk menjalankan semesta virtual ini. Oleh karena itulah, kesempatan mayoritas individu terbilang masih terbatas untuk benar-benar bisa menikmati metaverse seperti saat ini.
Sekarang, mari kita amati perubahan monumental lainnya di internet. Ternyata, penggunaan media sosial baru benar-benar bisa meningkat pesat ketika jumlah pemilik smartphone sukses melebihi jumlah pemilik ponsel tradisional. Tentunya, hal ini juga tidak mungkin bisa terwujud tanpa adanya inovasi smartphone dengan kamera bawaan (built-in) yang akhirnya berhasil menyaingi eksistensi kamera point-and-shoot digital. Selain itu, tumbuhnya jaringan data seluler juga menjadi aspek penting yang mendukungnya. Ya, metaverse telah hadir di sini dan akan terus berkembang setiap harinya. Namun, sekadar eksistensinya sendiri tidak serta-merta dapat langsung menarik minat masyarakat umum.
Miskonsepsi Metaverse #2: Setiap Perusahaan yang Tidak Bergabung dengan Metaverse akan Kehilangan Kesempatan
Untuk memulainya, perlu kita sadari terlebih dulu bahwa saat ini, FOMO terhadap metaverse terus merajai industri secara umum. Banyak kepercayaan yang muncul bahwa suatu perusahaan berpotensi untuk kehilangan kesempatan emasnya, jika tidak segera mengamankan posisinya di sektor metaverse. Namun, terkait industri mana saja yang perlu bergabung dan mulai mengiklankan produk mereka di billboard metaverse kini juga masih terbatas. Setidaknya, sektor-sektor yang sudah ada di dalamnya saat ini meliputi teknologi, game, industri hiburan, dan sektor kripto. Perlu kita ingat juga bahwa sektor-sektor itu adalah demografi yang memang sudah memiliki peralatan memadai untuk mengakses sebagian besar metaverse yang ada.
Di samping itu, perusahaan yang pernah menghubungi kami tentang pemasaran di metaverse memiliki jangkauan yang luas; mulai dari perusahaan fashion hingga penyedia asuransi. Perusahaan kami memang tidak bisa menjamin apakah demografi pengguna aktif metaverse saat ini sedang mencari penawaran harga yang bagus untuk asuransi mobil mereka. Tapi, uniknya, industri seperti mode, justru cocok untuk memasuki sektor ini, karena avatar yang tersedia di metaverse membutuhkan pakaian serta aksesori untuk menunjukkan ekspresi diri setiap penggunanya.
Sembari kita membangun teknologi metaverse, maka beberapa use case baru yang tercipta juga akan menarik perhatian bagi entitas lainnya untuk masuk ke sektor ini. Oleh karena itulah, untuk saat ini, kita bisa menyerahkannya pada industri yang lebih “menyenangkan”; seperti halnya game, seni dan mode, atau real estat, untuk mendominasi sektor metaverse.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang masih ragu untuk bergabung dengan metaverse kemungkinan sudah tertarik dengan ide tersebut, hanya saja masih skeptis. Tentu saja, kita tidak harus langsung bergabung ke industri ini. Apalagi, jika rencana ke depannya juga masih belum jelas. Tidak lupa juga, perusahaan perlu terlebih dulu memiliki tujuan yang nyata terkait peran metaverse yang mampu mencapai target atau tujuan utama perusahaan.
Miskonsepsi Metaverse #3: Metaverse adalah Video Game 4D
Sebelumnya, perlu kita sadari juga bahwa hingga saat ini, telah tersedia ratusan metaverse di luar sana. Masing-masing proyek ini memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap orang dengan latar belakang beragam. Terlebih lagi, kini semakin banyak metaverse yang muncul membawa elemen seperti halnya game.
Meskipun faktanya begitu, bukan berarti bahwa pengembangan metaverse hanya berpusat dan menjadikan para gamer sebagai target utamanya. Misalnya saja, seperti The Sandbox, yang mekanisme permainannya lebih tradisional dengan gaya seni piksel. Tampilan yang seperti ini jelas lebih menarik bagi orang-orang yang sudah akrab dengan video game sejak awal.
Di sisi lain, ada juga metaverse Spatial, yang lebih maju secara grafis dan lebih unggul dalam aspek estetikanya. Nah, bentuk yang seperti ini, sangat pas untuk galeri seni digital serta acara lain yang membutuhkan grafis berkualitas tinggi.
Sedangkan, untuk metaverse yang lebih gamified, perbedaan utama antara video game tradisional dan metaverse adalah dalam aspek kepemilikannya. Jadi, dalam video game yang disertai dengan mata uang dalam game (in-game currency), semua yang kamu beli dan miliki akan terkunci di dalam game. Sedangkan, pada game online sendiri, jika suatu hari tiba-tiba developer game tersebut memutuskan untuk mematikan server-nya, maka item dalam game yang pernah kamu “miliki” juga akan ikut menghilang bersama server itu.
Tak ayal, konsep ini pastinya bertentangan dengan gagasan kepemilikan digital sejati. Dalam hal ini, aset digital sendiri bertujuan untuk tetap menjadi milik kamu selamanya, seperti yang sudah tercatat di blockchain. Konsep ini juga terlukis dalam etos inti Web3. Tapi, di sisi lain, hal ini juga masih menjadi masalah utama bagi industri teknologi metaverse. Terlebih lagi, gagasan ini juga berpotensi menimbulkan permasalahan lain bagi bisnis yang berupaya untuk menjual produknya di metaverse.
Miskonsepsi Metaverse #4: Metaverse Akan Menggantikan Dunia Nyata dan Menghancurkan Masa Depan Kita
Seperti halnya teknologi baru yang muncul dalam zeitgeist budaya, ada banyak hal yang bisa kita bahas mengenai media yang menyebarkan ketakutan terkait makna kehadiran metaverse bagi masa depan anak-anak kita. Gagasan yang muncul adalah, anak-anak nantinya akan tersedot ke dunia digital dengan mengorbankan kehidupan nyata mereka. Terlebih lagi, mereka sangat berpotensi untuk menarik diri dari dunia nyata yang ada di sekeliling mereka.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa penggunaan internet yang berlebihan tidak menjadi masalah. Sebab, generasi muda era ini terlihat lebih tertekan dari sebelumnya. Screen time yang di luar batas cenderung berpotensi memperburuk kondisi tersebut.
Kendati demikian, anggapan seperti itu seolah-olah mengabaikan gambaran yang lebih besar. Karena, faktanya, Gen Z sendiri terbentuk menjadi dirinya yang sekarang setelah mengalami bertahun-tahun pembentukan dengan latar belakang sejarah yang ekstrem. Hal ini termasuk peristiwa cuaca akibat perubahan iklim, pencabutan hak asasi manusia, perang global, ketimpangan pendapatan yang meluas, krisis kepemilikan rumah, hingga pandemi yang berkepanjangan. Setelah melalui itu semua, sepertinya bukanlah hal mengejutkan jika pada akhirnya mereka menjadikan internet sebagai pelarian positif untuk membantu mereka tetap bertahan di tengah problematika global tersebut.
Pada akhirnya, metaverse yang masih dalam fase pembangunan saat ini bukanlah bertujuan untuk menjadi iterasi baru, tetapi sebagai peningkatan dari versi internet saat ini. Konsepnya mirip seperti internet yang memungkinkan adanya media sosial dan aspek lain untuk menjadi media untuk mengekspresikan diri. Sedangkan, partisipasi dalam industri metaverse sendiri simpelnya hanyalah perpanjangan dari dunia nyata kita yang kita tinggali saat ini.
Seperti halnya yang bisa kita saksikan dalam film dokumenter VRChat baru-baru ini, sekarang sudah ada use case yang menunjukkan bagaimana metaverse mampu meningkatkan kualitas hidup para penggunanya. Dalam bentuknya yang paling primitif saja, bahkan kunci untuk masuk ke metaverse adalah menawarkan cara lain bagi orang-orang untuk bisa terhubung satu sama lain.
Tidak kita mungkiri juga, jika saat ini, metaverse mungkin belum memiliki regulasi dan kontrol yang jelas. Tapi, semua itu bergantung pada developer dan penggunanya sendiri. Pasalnya, mereka sendirilah yang akan memastikan bahwa metaverse yang terbentuk itu sudah ideal ataukah tidak bagi pengguna; dan apakah sudah disertai dengan aturan dan budaya yang melindungi, serta meningkatkan kualitas penggunanya; begitu pula generasi yang akan datang.
- Baca juga: Survei Study.com: Mayoritas Orang Tua di Amerika Inginkan Pendidikan Kripto & Blockchain di Sekolah
Mengkaji Ulang Metaverse
Perusahaan rintisan (startup) web3 masih terus mengembangkan pengalaman metaverse yang sudah ada saat ini. Sudah tidak diragukan lagi, baik perusahaan progresif maupun tradisional sama-sama ingin memanfaatkan dan memaksimalkan inovasi baru ini. Perusahaan-perusahaan rintisan ini juga terus bersaing demi menjadi yang terdepan dengan bergabung di sektor metaverse. Namun, supaya bisa memanfaatkan potensi yang dimiliki teknologi ini secara maksimal, perusahaan harus mengkaji kembali strategi yang mereka punya, serta menelisik lebih dalam lagi alasan dan tujuan sebenarnya mereka bergabung di industri metaverse.
Selain itu, perlu juga mempertimbangkan apakah kamu memang ingin menjangkau para pengguna dan meningkatkan pengalaman virtual mereka, ataukah hanya tidak ingin ketinggalan hype?
Tentang Penulis
Thibault Launay adalah co-founder dan CEO Exclusible, yaitu sebuah platform yang banyak melayani industri barang-barang mewah untuk mulai bergabung dengan sektor metaverse dan NFT. Ia adalah serial entrepreneur dan angel investor yang telah berkecimpung di berbagai sektor. Di samping itu, Thibault juga merupakan anggota dari hedge fund NFT Blackpool, penasihat OVR.ai, dan kolektor NFT serta merek jam tangan vintage fisik ternama. Thibault adalah alumnus Paris Dauphine University, Harvard Business School, dan Forbes 30 Under 30.
Bagaimana pendapat Anda tentang miskonsepsi terhadap metaverse ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram Be[In]Crypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.