Lihat lebih banyak

Ngotot Bayar Upah Pekerja Pakai USDT, Perusahaan Cina Dijatuhi Sanksi oleh Pengadilan

3 mins
Diperbarui oleh Lynn Wang
Gabung Komunitas Trading Kami di Telegram

Ringkasan

  • TETAcoin menghadapi gugatan hukum dari seorang mantan karyawannya di Pengadilan Hubungan Industrial Chaoyang.
  • Perusahaan teknologi asal Cina ini diduga menggunakan aset kripto dalam bentuk stablecoin USDT untuk pembayaran upah karyawannya itu.
  • Tindakan TETAcoin bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan di Cina yang mengharuskan pembayaran upah pekerja dalam RMB. Maka dari itu, pengadilan pun mengenakan denda sebesar US$40 ribu kepada perusahaan atas kelalaiannya.
  • promo

Sebuah perusahaan jaringan teknologi Cina bernama TETAcoin menghadapi gugatan hukum di Pengadilan Hubungan Industrial Chaoyang. Gugatan tersebut dilayangkan oleh salah satu mantan karyawannya. Perseroan diduga menggunakan aset kripto dalam bentuk stablecoin USDT untuk pembayaran upah.

Padahal, pemerintah Cina sudah sejak akhir tahun lalu menabuh genderang perang terhadap penggunaan aset kripto, termasuk stablecoin, di dalam negeri.

Dalam putusan Pengadilan, disebutkan bahwa mata uang virtual tidak boleh dan tidak dapat beredar di pasar sebagai mata uang.

“Memutuskan bahwa perusahaan harus membayar tunggakan upah dan bonus dalam Renminbi (RMB),” tulisnya.

Perselisihan bermula ketika, seorang penggugat yang bernama Shen berniat untuk mengajukan pengunduran diri di Juni 2020. Penggugat memiliki jabatan sebagai Vice President of Product, dengan gaji kotor senilai 50 ribu yuan.

Namun, setelah dikurangi dengan jaminan sosial dan dana simpanan, Shen mendapatkan 2.574 RMB dan ditambah dengan stablecoin dalam bentuk Tether (USDT). Dalam perjalanan pekerjaannya, penggugat mengajukan pengunduran diri sampai proyek yang tengah ia kerjakan rampung.

Ia juga menuntut agar perusahaan membayar tunggakan upah, bonus kinerja, dan uang lembur. Tetapi, sepertinya harapannya tidak dikabulkan oleh perusahaan, karena akhirnya perselisihan justru menggelembung hingga ke meja hijau.

Hu dan Deng, selaku pemegang saham TETAcoin, menjadi tergugat dalam sengketa tenaga kerja ini. Hu sendiri mengaku bahwa perusahaan telah membayarkan gaji dalam bentuk USDT sesuai dengan kehadirannya.

“Shen meminta untuk menerima pembayaran tunggakan upah dan bonus dalam bentuk Renminbi, namun Hu bersikukuh untuk menggunakan mata uang virtual,” ungkapnya.

Pembayaran Upah dengan Stablecoin Tak Sesuai UU di Cina

Menyikapi hal itu, pengadilan setempat menyatakan bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku menetapkan bahwa upah harus dibayarkan dalam mata uang yang diatur dalam UU Republik Rakyat Tiongkok, yaitu Renminbi. Maka dari itu, pengadilan memerintahkan agar para tergugat membayar lebih dari 270 ribu RMB atau sekitar US$40 ribu.

Sikap tegas pemerintah Cina atas pelarangan penggunaan mata uang kripto di negaranya sudah diumumkan sejak September 2021 lalu.

Kala itu, Bank Rakyat Tiongkok, bank sentral Cina, sudah mengeluarkan Pemberitahuan Tentang Pencegahan atas Risiko Transaksi Mata Uang Virtual. Kebijakan tersebut juga didukung oleh Mahkamah Agung, Central Cyberspace Administration of China, dan 10 lembaga lain yang juga memiliki pandangan yang sama. Mereka menilai bahwa mata uang virtual bukanlah alat pembayaran yang sah.

Senator AS Larang Apple dan Google Terima Yuan Digital

Langkah pemerintah Cina melarang penggunaan stablecoin dan juga aset kripto lainnya dalam transaksi pembayaran dalam negeri umum dilakukan oleh banyak negara lain, termasuk Indonesia sendiri.

Sebagai catatan, USDT sendiri merupakan stablecoin yang dipatok dalam dolar AS dengan rasio 1:1.

Namun, di sisi lain, adopsi kripto di Cina juga berada di angka yang cukup tinggi. Berdasarkan data Chainalysis, Cina berada di peringkat 13 dengan skor indeks 0.16. Melihat hal itu, pemerintah setempat akhirnya terus menggenjot penggunaan mata uang digital bank sentral (CBDC) mereka atau yang kerap disebut yuan digital.

Sayangnya, aksi yang dilakukan oleh pemerintah Cina ternyata harus mengalami tantangan. Tiga senator dari Partai Republik di Amerika Serikat baru saja merilis undang-undang yang akan melarang Apple, Google, dan penyedia aplikasi lain untuk hosting aplikasi yang menerima yuan digital sebagai pembayaran. Aturan tersebut diklaim merupakan tindakan preventif dalam melindungi aktivitas keuangan Amerika Serikat dari pantauan Cina.

“Partai Komunis Cina akan meggunakan mata uang digitalnya untuk mengontrol dan memata-matai siapa saja yang menggunakannya,” ungkap salah satu senator.

Platform kripto terbaik di Indonesia | April 2024

Trusted

Penyangkalan

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.

BIC_userpic_sb-49-profil.jpg
Adalah seorang penulis dan editor yang pernah berkiprah di banyak media ekonomi dan bisnis. Memiliki pengalaman 7 tahun di bidang konten keuangan, bursa dan startup. Percaya bahwa blockchain dan Web3 akan menjadi peta jalan baru bagi semua sektor kehidupan
READ FULL BIO
Disponsori
Disponsori