Di tengah perlawanan pemerintah Cina yang berupaya untuk menghilangkan aspek spekulatif yang terkandung dalam perdagangan non-fungible token (NFT), pengadilan Cina justru memutuskan hal lain. Dalam persidangan yang melibatkan perusahaan teknologi digital di Hangzhou, pengadilan setempat justru memutuskan bahwa koleksi NFT merupakan properti virtual online yang harus dilindungi oleh undang-undang.
Keputusan tersebut menjadi anomali, lantaran pemerintah Cina secara tegas melarang perdagangan NFT dan transaksinya dengan mata uang kripto. Namun, dalam keputusan hukum terbaru, yang dilakukan oleh pengadilan yang khusus menangani sengketa di dunia internet, menganggap bahwa koleksi digital NFT memiliki karakteristik objek berupa hak milik.
Di dalam NFT terdapat nilai, kelangkaan, kemampuan untuk melaukan kontrol dan juga kemampuan untuk dijual kembali. Namun, pada saat yang sama, NFT jgua memiliki atribut unik dari jaringan properti virtual.
“Koleksi digital NFT adalah properti virtual jenis baru, sehingga harus dilindungi oleh Undang-Undang negara sebagai objek transaksi antara kedua pihak,” jelas keterangan Pengadilan Hangzhou.
Terdapat Gugatan terhadap Perusahaan Penerbit NFT
Sengketa yang terjadi antara pembeli dan penjual NFT yang keduanya disamarkan identitasnya itu pertama kali dipublikasikan pada tanggal 29 November. Kemudian, informasi tersebut dibagikan oleh jurnalis Collin Wu melalui akun Twitter @WuBlockchain.
Perselisihan bermula dari gugatan salah satu pihak pembeli yang mengklaim bahwa perusahaan NFT membatalkan pembeliannya. Dalam gugatannya disebutkan bahwa Wang (bukan nama sebenarnya) membeli NFT Colection Blind Box dan menebusnya dengan harga 999 yuan.
Wang juga mengaku sudah mengisi data diri seperti nomor ponsel dan juga informasi lainnya. Namun, perusahaan penerbit dikatakannya justru tidak mengirimkan koleksi digital yang diinginkannya dan meminta pengembalian uang setelah 10 hari. Untuk itu, Wang menuntut kompensasi kerugian sebesar 99.999 yuan atau sekitar Rp222,07 juta.
Kisruh tidak berhenti disitu, perusahaan penerbit NFT berkilah bahwa Wang tidak mengisi nomor ponsel secara valid. Padahal hal tersebut sudah diinformasikan oleh perusahaan bahwa platform akan membatalkan pesanan yang tidak valid tanpa otentifikasi nama asli ataupun kesalahan dalam data pribadi.
“Kontrak pembelian belum selesai, pun pesanan sudah dbuat tetapi kontrak pembelian telah berakhir sesuai dengan kesepakatan dan penggugat menerima pengembalian uang tanpa kerugian,” tambahnya.
Alih-alih meneruskan sikap pemerintah pusat yang secara tegas melarang perdagangan NFT, pengadilan Hangzhou malah memutuskan bahwa objek transaksi yang terlibat merupakan koleksi digital dan bukan sertifikat ekuitas NFT. Oleh karena itu, perlu dilakukan konfirmasi terhadap sifat hukum dari koleksi digital tersebut.
Dalam pernyataan lanjutannya, disebutkan bahwa kontrak yang ada dalam sengketa tersebut tidak melanggar undang-undang ataupun peraturan negara, malah harus dilindungi oleh undang-undang. Pengadilan menggunakan undang-undang terkait kontrak penjualan jaringan informasi sebagai dasar hukumnya. Sehingga, transaksi yang ada dalam sengketa tersebut adalah aktivitas penjualan barang digital lewat internet yang termasuk dalam kategori e-commerce dan harus diatur dengan UU e-commerce.
Fakta tersebut membuat gugatan Wang terhadap perusahaan NFT tersebut ditolak oleh pengadilan.
Pemerintah Cina Menciptakan Karya Digital
Pemerintah setempat memang belum mengeluarkan aturan sah tentang dunia NFT dan juga kripto. Tetapi, untuk membedakan NFT dan juga koleksi digital yang bebas spekulasi, disebutlah aset digital anyar tersebut sebagai “karya digital”.
Berbeda dengan NFT pada umumnya, karya digital Cina memiliki konten yang mengedepankan budaya Cina. Selain itu, karya digital yang dirilis sepenuhnya menggunakan teknologi blockchain Cina yang diklaim bisa terhindari dari spekulasi dan hype akan NFT itu sendiri.
Kendati demikian, rupanya hal itu juga tidak mampu membendung minat para investor yang memang ingin menikmati cuan dari karya digital Cina. Pertengahan tahun lalu, salah satu raksasa teknologi Cina, yakni Ant Group, merilis karya digital yang menggambarkan headpiece milik etnis Miao. Karya tersebut dibandrol seharga 18 yuan dan langsung ludes terjual oleh para investor yang ternyata adalah spekulan. Pasalnya, tidak lama setelah itu, muncul banyak pasar sekunder yang menjual kembali koleksi tersebut dengan harga diatas 50% dari harga normal.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.
Selain itu, sebagian artikel di situs ini merupakan hasil terjemahan AI dari versi asli BeInCrypto yang berbahasa Inggris.